見出し画像

微睡み (Doze Off)

Itsuki nyaris tertidur ketika sedang menunggu, imbas belaian angin lembut musim panas yang bertiup dari selatan, menerbangkan helai surai hitam rampingnya yang terselip di belakang telinga. Terik mentari terblokir oleh pohon plum yang berdaun rimbun, yang akar menonjolnya tengah dibuat menjadi bantalan.
Mentari berlindung di balik segumpal kecil awan putih yang berarak cepat, membuat cahaya meredup. Itsuki bangkit dari posisi telentang, menyilangkan kaki di tanah kemudian menguap lebar dengan satu tangan memblokir mulut. Beberapa remahan daun kering tersangkut di rambut.

Setelah mengucek mata yang berair, pemuda berwajah dingin itu beringsut ke belakang, menyandarkan punggung tegapnya pada batang pohon plum yang kokoh sebelum menarik nafas panjang dan membuka kedua bola mata lebar-lebar.

Tak jauh di depannya, mungkin hanya lima atau tujuh meter, ia bisa melihat bagian dalam sebuah rumah sederhana dengan pintu dorong yang terbuka lebar, menyuguhkan pemandangan konflik keluarga yang agaknya kurang layak untuk dikonsumsi anak dibawah umur. Sepasang suami istri saling melempar argumen dengan oktaf tinggi, melempar isyarat kasar dan aksen yang buruk di depan anak lelaki kecil yang umurnya tak lebih dari satu dekade, yang meringkuk gemetar di sudut ruangan ditemani kucing kecil berbulu putih oranye dalam pelukan.

Itsuki menengadah, menyipitkan iris cokelat gelap saat melirik matahari yang kembali muncul dari balik gumpalan tebal awan putih serupa permen kapas yang menyingkir menjauh disapu angin lewat sela-sela dedaunan. Lantas fokusnya kembali pada sepasang suami istri yang mulai beradu fisik.

Satu tamparan kencang dilayangkan ke pipi sang wanita, suara benturan telapak tangan dan tulang pipi memantul pada dinding yang reyot.

Jeritan samar bersahutan dengan derik serangga musim panas.

"DENGARKAN AKU, JALANG! INI YANG TERAKHIR, AKU TAK LAGI SANGGUP MENAFKAHIMU DAN ANAKMU SEKALIGUS! JUGA KUCING ITU! BUANG MEREKA JAUH-JAUH!"

Dahi Itsuki sedikit berkerut kala memandangi sang lelaki dewasa bergerak untuk menyeret sebelah kaki anak kecil yang meronta-ronta di sepanjang lorong samping, berakhir menggulingkannya ke tanah berumput tak jauh dari kaki Itsuki. Ia bisa menangkap jelas beberapa luka baru tertoreh di pipi yang kumal oleh tanah dan air mata. Kucing di pelukan anak itu mengeong lemah.

"KAU! PERGI CARI SENDIRI AYAH KANDUNGMU SEBELUM AKU MENGUSIRMU SECARA KASAR DARI RUMAHKU!!"

Satu tendangan di kaki kurus itu menyenandungkan tangis tertahan. Tubuh sang anak kecil gemetaran dengan semakin tidak tertahankan. Tak butuh waktu lama bagi bilur biru kehijauan mewarnai kulit yang pucat. Selama beberapa saat hanya terdengar suara nafas berat yang terengah-engah, lirih tangis diiringi desis kesakitan yang teredam di atas rumput setengah kering, derik tonggeret yang bersahut-sahutan tanpa tahu apa yang terjadi, gemerisik dedaunan plum yang lebat, serta serak suara kecil dari hewan berbulu yang sesekali mengeong sendu.

Sang istri berlari tergopoh-gopoh, satu tangan memegangi pipinya yang bengkak. Ia menjatuhkan diri, bersimpuh di hadapan suaminya sambil menempelkan dahi ke tanah. Tidak ada lagi yang namanya harga diri.

"Kumohon, biarkan dia tetap hidup bersama kita... aku akan melakukan apapun-"

Ucapannya terhenti saat jemari sang suami meremas rambutnya kencang, mengangkat kepalanya dari tanah sehingga kedua wajah yang diliputi emosi berbeda saling menghadap dan bersitegang.

"Apa kau pikir hasil dari melacurmu itu cukup berguna? Tidak! ANAK ITU HARUS KELUAR DARI KEHIDUPAN KITA! ATAU HARUS KUBILANG, KEHIDUPANKU!"

Satu pekikan kembali terlepas. Melihat ibunya membentur tanah dengan tidak berdaya, anak bertubuh ringkih itu berlari dan memeluknya, menggantikan kucing berbulu putih oranye yang segera melompat dan berlari kecil di belakang kaki majikannya. Sepasang mata serupa kelereng terkulai penuh tanya.

Manusia yang paling muda masih menangisi sosok wanita yang merintih pasrah. Di belakang kepala ada aliran kecil darah segar, membasahi batu yang menjadi satu-satunya senjata yang tidak disangka-sangka. Sang anak menatap horor pada bayangan hitam yang menaunginya secara tiba-tiba. Sesenggukannya berhenti. Selama beberapa detik ia hanya bisa mematung seakan-akan ada harimau liar yang akan memangsanya saat ia bergerak.

"Apa yang kau lakukan pada istriku, bocah brengsek..."

Itsuki mengangkat sebelah alis dengan bosan. Jelas-jelas lelaki itu sendiri yang membuat istrinya sekarat, kenapa malah menumpahkan amarahnya pada anak kecil yang tidak bersalah?

Ketika kerah lehernya dicengkeram secara membabibuta oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindung, anak kecil itu mengeluarkan suara tercekik. Kedua tungkai kakinya terayun-ayun tanpa tenaga di tengah udara kosong. Ratapan memohon semakin samar terdengar sepanjang waktu bergulir.

Kembali ada tubuh tak berdaya yang terlempar ke tanah, terkapar seperti ikan yang menggelepar keluar dari dalam air. Bola mata Itsuki mengikuti setiap langkah dan gerak-gerik yang tiap manusia di hadapannya itu lakukan. Tubuh wanita yang sekarat digulingkan ke samping, memperlihatkan sebongkah batu seukuran dua kepalan tangan orang dewasa yang berlumuran cairan anyir yang masih hangat. Mata lelaki dewasa itu diselimuti kegelapan. Sembari mengadu gigi, diangkatnya batu tersebut dan membawanya dengan langkah terseret pada anak kecil yang ketakutan.

Itsuki berdiri dengan tiba-tiba, mengibaskan debu serta remahan dedaunan kering yang mengotori permukaan yukata biru tua yang tengah dikenakan. Angin lembut menerpa dahi di balik poni samping yang kembali dikaitkan di belakang telinga.

Derap kaki-kaki kecil yang menginjak rerumputan menarik perhatian Itsuki. Kucing bermata mirip kelereng itu. Ia menghampiri majikan kecilnya, mengeong di tepi telinganya dengan nada sedih. Dalam dua lensa bundar, terpantul gambaran horor seorang lelaki yang tengah mengangkat batu tinggi-tinggi beberapa senti di atas kepala sang anak yang tidak berdaya... menunggu akhir takdir kehidupan.

"Matilah kau... matilah kau-"

Itsuki meregangkan tubuh, kemudian berjalan beberapa langkah ke depan. Jemarinya yang lentik dan ramping meraih benda panjang berujung tajam dan mengkilat yang sudah semenjak tadi disampirkan di samping batang pohon. Kaki yang terlindung bakiak melangkah santai mendekat di belakang sosok yang murka. Ia melihat batu besar terangkat-lantas mengayun ke bawah dalam kecepatan yang tidak manusiawi.

"-MATILAH KAU BOCAH BRENGSEK!!!"

Lengkingan terpanjang bergaung dari mulut sang anak.

Itsuki mengangkat benda panjang di tangannya, menghujamkan ujungnya dengan ayunan kuat.

Suara benturan dua benda keras yang hebat seolah menghentikan waktu tuk bergulir. Angin dingin berlari di belakang tengkuk Itsuki. Di telinganya bergema suara derik tonggeret yang semakin meriah dan suara mengeong kucing yang hanya berlangsung selama beberapa detik.

Warna merah menyala menyatu bersama iris cokelat gelap Itsuki. Ia terengah sebentar, sebelum berjongkok dengan sedikit susah payah akibat yukata yang ia kenakan.

Ada rintihan kecil yang masih tersisa.

"MAAAAAARRSS!!!"

Anak kecil itu bangkit dengan diselimuti kegelapan. Ia mendorong sang lelaki hingga tersungkur, merebut batu yang seharusnya tidak dapat diangkat dengan mudah oleh lengan tipis itu namun ia berhasil merebutnya, menghantamkan sisi keras nan tajam pada pelipis lelaki yang sudah menyakitinya, menyakiti ibunya, menyakiti peliharaan kesayangan yang sudah melindunginya di detik-detik terakhir... Mars.

"MAAAAAAARRSSS!!!" Si anak kecil berlari, berurai air mata, menghampiri tubuh kucingnya yang tidak bergerak, bermandikan cairan hangat berwarna menyala, sewarna senja merah matahari sore kala itu.

Itsuki yang masih menunduk, tersenyum kecil. Ia mengusap-usap kepala berbulu itu dengan sayang, kemudian meluruskan punggung dan berdiri, membawa tubuh mungil itu dalam gendongannya.

"Jadi namamu Mars?" tanya Itsuki lembut, membiarkan kucing jantan itu menjilati jemari yang menggendongnya. Yang dijilati hanya tertawa kecil, sebelum mengalihkan pandangannya pada anak kecil yang menangisi jasad Mars dengan penuh penyesalan. "Maaf harus memisahkanmu dengan majikanmu. Kau pasti sangat menyayanginya. Kau telah melindunginya, kan?"

Sepasang bola mata serupa kelereng itu menatap lurus ke mata Itsuki, seolah tahu apa yang makhluk itu ucapkan kepadanya.

"Tapi dunia ini terlalu kejam untukmu. Mulai sekarang, aku yang akan menjadi majikanmu." Dengan sayang, sudut hidung diusap dengan hidung yang lain. Mars mengeong panjang, seakan-akan merasa lega.

Itsuki tertawa. Ia meraih catatan kecil di saku yukatanya sebelum menarik satu nafas panjang. Ia biarkan Mars bertengger di pundaknya, mengeluarkan suara mendengkur kecil lalu menjilati pipi majikan barunya dengan sedikit rasa geli. Cengkeraman tangan Itsuki pada tongkat sabit panjang dipererat.

"Baiklah. Selanjutnya siapa?"

- END -

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?