見出し画像

月を起こせ (Wake The Moon)

"Shion-nii, pinjam edisi terbaru-"


Issei tidak pernah mengira bahwa hal paling aneh yang pernah ia tangkap basah ketika membuka pintu kamar kakak laki-lakinya secara sembrono adalah pemandangan dua orang lelaki bergumul di atas kasur berantakan dengan posisi sang kakak berada di atas, gigi menggigit kancing baju ketiga kemeja seragam SMA anak lelaki berambut pirang yang ada di bawahnya dalam pose ambigu.


Kedua lelaki yang lebih senior meloncat kaget, menjauhi satu sama lain. Yang berambut pirang segera menundukkan kepala, menghalangi wajah yang memerah dari tatapan polos penuh tanya sementara jemari yang sedikit gemetar menutup kembali beberapa kancing baju yang terbuka dari slotnya secepat yang ia mampu.


"Kubilang, selalu ketuk pintu sebelum masuk! Apa harus kutempelkan kertas besar di depan pintu kamar agar kau mau membaca, Issei!?"


Tidak ada rasa bersalah sama sekali di wajah polos pemuda berusia lima belas tahun itu. Ia berjalan menuju lemari buku milik Shion yang berdiri kokoh di dekat jendela, memilih-milih manga yang ingin ia baca. Setelah mendapatkannya, ia duduk begitu saja di kursi belajar milik sang kakak. Dua pasang mata mengamatinya dengan penuh tanya.


"Ada apa? Lanjutkan saja yang tadi, aku akan jadi anak baik. Tidak akan menganggu," ucap Issei, membuka cover manga dan mulai membaca.


"Huh?!" Shion akhirnya bereaksi lebih lanjut. Ia bangkit dari atas kasur dan menghampiri sang adik. "Hei, memangnya kau tahu apa yang sedang Shosei dan aku lakukan tadi? Sekarang keluar dan jangan ganggu kami."


Shion menyilangkan tangan di depan dada, sebelah alis terangkat ke atas. Kakinya menghentak di atas lantai saking tak sabar.


Issei menurunkan manga yang menutupi hampir seluruh wajahnya, memperlihatkan sepasang mata bundar yang seakan tak berdosa, menatap kakak laki-lakinya yang berbeda dua tahun darinya itu penuh rasa memelas meski usahanya tidak membuahkan hasil maksimal. Shion selalu bermuka galak padanya, jadi ia memilih untuk mengalihkan pandangan pada pemuda berambut pirang dengan mata terkulai yang sedang duduk menyilangkan kaki dengan rapi di atas kasur.


"Shosei nii-chan?"


Mendengar namanya dipanggil dengan nada lembut, Shosei menggerakkan kepalanya ke arah sumber suara. Anak laki-laki berwajah manis itu memanggilnya, jadi ia berusaha tersenyum setelah berhasil mengusir kecanggungan yang sempat terjalin beberapa saat tadi.


"Hai?"


Sebuah seringai kecil dilayangkan yang paling muda pada kakak kandungnya sebelum berbalik kembali menampilkan wajah innocent.


"Shosei nii-chan, apa kau tidak keberatan kalau aku berada di sini dan melihat apa yang kalian lakukan?"


Shosei tidak lantas menjawab pertanyaan frontal tersebut. Ia melirik Shion waswas melalui sudut matanya, yang langsung direspon balik dengan gelengan mutlak. Pemuda itu kembali memandang raut wajah memelas mirip anak anjing Shiba, terlanjur jatuh pada pesona dua mata jernih yang menggemaskan.


"Jangan tertipu dengan wajahnya, ia bukan anak kecil yang innocent. Dia jelas-jelas tahu apa yang hendak kita lakukan tadi."


Mendengar ejekan Shion, Issei mendecakkan lidah dan melempar pandangan sebal pada kakaknya.


"Apa?"


Sang tuan rumah yang lebih tua menyeringai kecil pada yang lebih muda seolah memenangkan sebuah pertandingan.


"Kalau begitu kita bisa melakukan hal lain, yang bisa kita lakukan bertiga." Shosei memberi saran. Sebuah senyum tipis terpatri di bibirnya. Ia beringsut turun dari tempat tidur, berjalan ke samping Shion untuk menyandarkan pundaknya pada tepian jendela yang sengaja dibuka agar angin sepoi-sepoi sejuk masuk ke dalam kamar menggantikan udara yang pengap.


Di luar sana, bulan nyaris bulat sempurna mengintip sedikit demi sedikit dari awan tipis berwarna kelabu yang berarak dengan anggun. Bintik-bintik bintang yang cantik menghiasi langit malam.


"Apa yang bisa kita lakukan bertiga?" tanya Issei antusias. Shion mendengus, rencananya menghabiskan malam berdua bersama Shosei rusak sudah.


"Hmm..." Shosei mengetuk dagunya dengan ujung jari telunjuk. "Bagaimana kalau bermain game?"


"Game! Aku suka game!"


Pemuda pirang dibuat tertawa oleh semangat yang dikeluarkan si termuda. Sesaat kemudian ia mengeluarkan tiga kartu dari sakunya. Sepasang kakak beradik di hadapannya menatap dengan penuh tanda tanya ketika Shosei meletakkan ketiga kartu tersebut dengan acak di atas meja. Ia mundur menjauh, mencari sakelar lampu dan menekannya sehingga satu-satunya sumber cahaya yang menemani hanya berasal dari pantulan sinar bulan.


"Mari bermain werewolf."


Sebersit angin dingin melewati tengkuk Shion, mengangkat bulu romanya. Ia menoleh pada teman sekelasnya yang nampak tenang seolah merencanakan sesuatu.


"Tapi kita kan cuma bertiga. Biasanya werewolf game dimainkan lebih dari tujuh orang." Issei mengerutkan dahi.


"Tidak masalah. Kita tidak butuh moderator. Anggap saja ini finalnya, di mana nyawa kita dipertaruhkan dalam permainan ini."


"Oke," jawab Shion cepat. Ia pribadi tidak tahu apa yang tengah memicunya untuk jadi yang paling bersemangat, entah karena tidak ingin dikalahkan oleh Issei, entah karena ingin terlihat antusias di depan Shosei, atau entah karena firasat tidak enak yang mendadak menghampirinya melalui angin dingin yang berhembus tadi.


Ketiganya lantas berdiri mengelilingi kartu yang tertutup. Shosei mempersilakan Issei untuk memilih kartu pertama kali. Anak itu nampak ragu selama beberapa detik, menimbang-nimbang entah dalam aspek apa, hingga berakhir memilih kartu yang berada di tengah.


"Oh," respon Issei singkat ketika memeriksa kartunya. Ia menempelkan kartu tersebut erat-erat di dadanya sebelum tersenyum lebar.


Dengan isyarat tangan, Shosei mempersilakan Shion untuk memilih. Anak berambut cokelat itu tidak basa-basi, mengambil asal salah satu kartu untuk kemudian diperiksanya sekilas. Tidak ada yang berubah dari raut wajahnya.


Kartu terakhir berakhir di tangan Shosei. Ia membuka kartu tersebut di depan wajahnya, mengangguk sekilas sebelum memberi instruksi.


"Baiklah, semua sudah mendapat peran. Setelah ini kita semua menutup mata."


Begitu kegelapan menyambut penglihatan masing-masing, suara Shosei yang memberat langsung bergema di kamar yang sesak oleh semi kegelapan.


"Biarkan werewolf mengambil mangsanya."


Issei menahan nafas. Nada suara Shosei barusan sangat berbeda dengan nada lembut yang ia ucapkan sebelum ini. Kartu bergambar peramal di dalam genggaman tangannya diremas dengan gelisah tanpa sadar, membuatnya lembab dan basah oleh keringat.


Tidak ada yang bersuara selama beberapa menit. Bahkan serangga malam yang biasa bergurau pada pepohonan di luar jendela Shion pun tak ada rimbanya. Hal itu membuat Issei semakin gelisah hingga menggesekkan kakinya ke kanan dan kiri dengan lantai.


Ini sudah lebih dari lima menit, tapi tak ada instruksi lebih lanjut dari Shosei. Issei bimbang antara tetap menjadi anak yang penurut atau memutuskan untuk membuka mata akibat durasi yang tidak wajar. Semenit berlalu ketika ia menimbang-nimbang, maka ia berakhir membuka mata dengan sengaja-ingin mengetahui apa yang terjadi.


Awalnya ruangan itu berwarna kemerahan akibat efek penglihatan yang belum terbiasa, namun setelah terbiasa Issei tak bisa menahan keterkejutannya. Ada warna merah yang tidak bisa hilang dari pandangannnya, tepat pada leher sang kakak yang terekspos di udara, menampilkan jakun yang terdiam kaku. Shosei berada di belakang Shion, menahan tubuh yang sedikit lebih besar darinya itu dengan satu lengan kokoh sementara satu tangan yang lain menutup mulut Shion yang sudah tidak berdaya. Wajah Shosei terkubur di leher pemuda bersurai cokelat yang bersimbah darah. Ada bunyi decak air yang terdengar ketika surai pirang itu terangkat, menunjukkan wajah menyeringai dengan taring tajam mencuat dari sisi bibir merah yang mengkilat oleh cairan anyir.


"Ka-kau were-"


"Bukan. Aku vampire," jawab Shosei santai, merobohkan Shion ke belakang, kemudian melangkahi tubuh yang nampak tak lagi bernyawa itu hanya untuk mendekati satu mangsa lain yang masih segar di hadapannya.


Issei mundur gemetar satu langkah.


"Tenang saja, ini hanya sakit sebentar, Issei-kun."


Issei menggelengkan kepala tanpa suara. Mulutnya terbuka namun tak ada satu kata pun yang keluar dari tenggorokan seakan tangan tak terlihat mencekik lehernya. Shosei masih mendekat dengan senyum miring menakutkan. Tetesan darah segar milik Shion di ujung gigi taringnya jatuh memercik ke lantai keramik.


Degup jantung Issei berhenti ketika punggungnya tersudut ke sisi akhir tembok. Dengan mata terbelalak lebar ia mendengar tawa mengejek Shosei, yang terdengar semakin kencang ketika sosok pucat itu mendekat.


Jemari panjang dan kurus terulur menuju wajah Issei, membelai pipinya yang halus. Shosei terhenti ketika getaran di pipi Issei menghilang. Kemudian satu tangan berkuku tajam meraih tangannya dari atas. Shosei menyorot iris mata Issei yang berubah merah. Bibir yang tadinya terkulai ketakutan telah berubah bentuk menjadi seringai yang tak kalah seram, seakan bersaing dengan vampire di depannya tentang siapa yang paling kelihatan jahat.


"Kau..." Shosei masih mencoba berusaha tenang meski apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar perkiraannya. "...werewolf?"


Issei mengeluarkan tawa serak sebelum menunjukkan kartu yang sudah kumal dari genggamannya. "Bukan, aku peramal."


Bibir Shosei terkatup. Ada hembusan nafas panas menerpa dari balik lehernya, disusul suara geraman lirih yang datang beriringan dengan lengan berkuku panjang dan berbulu tipis yang menjulurkan kartu bergambar werewolf ke arahnya dari belakang.


Sebuah beban menimpa pundaknya yang mendadak kaku, menembus surai pirang yang lepek. Suara geraman itu menghujam tepat di dekat cuping telinganya, bersama nafas pendek-pendek yang tergesa-gesa. Setetes keringat dingin mengalir jatuh di sisi leher Shosei, dijilat oleh lidah panjang nan panas.


"Aku werewolfnya."


- END -

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?