見出し画像

MOONGAZER 🌕 (KZHK/OMGN)

Warn: Contains implicit sex, mention of mpreg(?)


. . .


Brak!

Hokuto menekan tombol volume turun pada TV usang di hadapannya ketika pintu tua di belakang punggungnya dibanting terbuka, diikuti dengan langkah berat seseorang berjaket hitam yang langsung ambruk ke lantai. Topeng berbahan dasar karung goni diremas lepas dari kepala, menampakkan surai keemasan yang berantakan yang jatuh di antara kedua pasang mata beriris cokelat gelap yang nampak letih.

Deru nafas tak beraturan mengisi ruangan tamu rumah kontrakan yang sempit.

"Apa yang kau..." Hokuto tidak jadi meneruskan kalimatnya, bangkit mematikan TV sebelum menghampiri sosok anak manusia yang terbaring kesakitan di depan pintu, menyeret hingga seluruh tubuhnya masuk ke dalam ruangan. Ketika anak itu hendak menutup pintu, ia sempat melirik pada bulan keemasan penuh yang nyaris tak tertutup awan di langit gelap.

Ia paham sekarang alasan kenapa Kazuma pulang dalam keadaan layaknya makhluk hidup yang tengah sekarat menunggu ajal.

"Hoku-"

"Sshh... jangan berisik." Dengan gesit, pemuda yang agaknya jauh lebih fit itu melepas sepatu dan jaket tebal pemuda lainnya, menyisakan kaus hitam dan celana jeans yang sudah robek pada salah satu bagian lutut.

Hokuto menarik tungkai kakinya menuju dapur, membiarkan Kazuma berbaring gelisah, sesekali menggelepar kecil di atas lantai yang mulai licin oleh lelehan keringat. Pemuda itu bernafas cepat dalam tempo pendek seperti ikan yang dikeluarkan dari dalam air.

"Minumlah," ucap Hokuto berusaha tenang ketika kembali dengan segelas air bening, membawa kepala Kazuma yang berat ke atas pangkuannya agar lebih mudah memasukkan air minum ke dalam mulut yang masih megap-megap.

Setelah dua tegukan yang meninggalkan cipratan air ke mana-mana, Kazuma mulai bisa mengontrol laju ritme nafasnya dengan lebih baik. Dipejamkan sepasang matanya sejenak, menarik nafas pelan dan panjang. Lantas membukanya dengan hati-hati, menangkap raut wajah Hokuto yang begitu tenang di atasnya.

"Merasa lebih baik?"

Kazuma masih menatap Hokuto tanpa langsung menjawab. Pandangannya turun menuju jakun lawan bicaranya sebentar, sebelum kembali membalas tatapan yang dilayangkan sembari menggeleng cepat.

"Ini lebih parah dari yang sebelumnya..." jawab Kazuma, melenguh kecil. Lelaki remaja tersebut memaksakan diri untuk bangkit, meraih kedua lengan Hokuto. Nada suaranya memberat. "Aku tidak ingin menyakitimu tapi... ini sulit."

Lelaki yang tadinya masih terbaring tak berdaya itu mendadak memutuskan bangkit, menarik lawannya yang kaget dengan gerakan tiba-tiba dan mengapitnya ke dinding tipis, mengunci kedua pergelangan tangan lawan dengan cengkeraman kasar.

Jantung Hokuto berdegup kencang meski ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak panik. Kedua iris Kazuma yang berjarak tak lebih dari dua puluh senti dari miliknya menatap nyalang dengan binar kemerahan. Dalam hitungan detik, atmosfer ruangan berubah. Aura gelap menguar dari diri Kazuma yang seperti kerasukan.

Kazuma menggeram pelan, memajukan wajahnya menuju leher putih Hokuto yang terbuka. Setetes keringat tergelincir di sana.

"Kazuma, sadarlah..." cicitnya pelan. Meski ia seratus persen tahu, ucapannya takkan diacuhkan.

Tenaga Kazuma menjadi tak terkendali, ia membanting tubuh Hokuto yang harusnya tak jauh lebih besar darinya itu ke tembok dalam posisi membelakangi. Hokuto diam saja, ia sudah terlalu paham apa yang harus ia lakukan-diam dan menerima.

"Ugh-" Taring kecil Kazuma yang hanya muncul pada saat tertentu, mencuat keluar, menembus perpotongan leher mangsanya, menusuk jauh lebih dalam dari kali-kali sebelumnya.

Jemari kaki Hokuto mengerucut, menekan lantai ketika pakaian bawahnya dirobek dan teronggok jatuh, menyisakan selangkangan terbuka yang hanya tinggal menunggu waktu dieksekusi.

Nafas panas Kazuma menerpa belakang telinga Hokuto, dalam beberapa detik kemudian pemuda yang terjebak itu menggigit bibir, menjerit tertahan ketika pinggul telanjang lawan menjepitnya keras ke tembok.


. . .


"Kau baik-baik saja?"

"..." Hokuto tidak menjawab. Kelopak matanya turun setengah. Pemandangan langit-langit rumah kontrakan Kazuma yang buram menjadi satu-satunya fokus yang tersisa. Seluruh persendian di sekujur tubuhnya terasa hancur, karenanya ia hanya mampu berbaring telentang di atas lantai semen yang dingin, meminjam jaket Kazuma untuk menutupi tubuh bagian selatannya.

Mengetahui bahwa Hokuto mengabaikannya, Kazuma menghela nafas letih. Menyesal. "Kau sudah bosan pasti mendengarku meminta maaf tiap kali ini terjadi... aku menyakitimu lebih dari yang kulakukan sebelum-sebelum ini. Aku tak lagi bisa mengontrol tubuhku dengan baik."

"Aku sudah tidak peduli dengan penyakit gangguan libido anehmu. Dengar, kau tak harus pergi keluar lagi ketika bulan sedang penuh, mungkin memang saat ini hasrat bercintamu dengan ada di puncaknya," balas Hokuto. "Bagaimana kalau tiba-tiba kau menyerang orang tak dikenal di jalan, hah!?"

Perkataan Hokuto membuat Kazuma bungkam. Untung saja ia bisa pulang tepat waktu. Kalau tidak ia mungkin akan menyerang orang-orang yang tidak bersalah.

Bukan berarti menyerang Hokuto membuatnya merasa lebih baik...

"Tidak hanya libido dan tubuhku yang terasa aneh. Aku tidak berniat mencuri lagi, hanya saja ketika aku melewati mansion itu... seperti ada godaan yang tak bisa kuhindari. Dan godaan tersebut berasal dari sebuah permata." Atensi Hokuto teralihkan ketika lelaki berambut pirang acak-acakan itu menyebut permata. Bongkahan berwarna biru itu diangkat Kazuma tinggi hingga memantulkan cahaya lampu. Indah memang.

Sebelah alis si rambut gelap terangkat, menemukan bercak darah yang mengering pada ibu jari temannya. "Jarimu?"

"Sepertinya terkena pecahan kaca, aku bahkan belum lama menyadarinya."

"Lain kali hati-hati," dengus Hokuto sembari mengambil permata mahal itu dari tangan Kazuma dan mengamatinya. "Jujur selain nilai jualnya, bagiku tak ada yang istimewa. Setidaknya benda ini bisa menghidupimu selama beberapa minggu ke depan."

Kazuma menarik sudut bibirnya ke samping. Bagaimanapun kemampuan mencurinya sejauh ini telah mampu menghidupinya di ibukota mahal yang kejam ini.

Handphone di atas meja milik Hokuto berdering pendek. Karena Kazuma yang lebih dekat dengan benda itu, ia mengambilkan dan menyerahkan pada Hokuto yang tengah meringis ketika mencoba untuk duduk. "Terima kasih." Saat melihat nama pengirimnya muncul di layar, bocah itu menghela nafas. Ia belum ingin pergi, jika boleh jujur.

"Jemputanku sudah datang. Aku akan datang lagi lusa." Sambil agak buru-buru memakai pakaiannya kembali, ia melihat Kazuma hanya mengangguk-angguk polos seperti anak anjing. Ingin rasanya Hokuto menampar anak itu. Bagaimana mungkin ia kelihatan seperti anak anjing tetapi berubah menjadi serigala liar ketika sedang melakukan seks?

"Terima kasih, Hokuto," ucap penyandang marga Kawamura tersebut sambil masih menatapnya dengan raut menyesal. Satu tinju kecil diarahkan ke lengan Kazuma.

"Hei, kita kan sahabat."


. . .


Hokuto masih berjengit menahan ngilu ketika menjatuhkan pantatnya di samping lelaki berkacamata hitam yang sudah menunggu dengan sabar di kursi kemudi. Saat pintu sudah ditutup dan sabuk pengaman Hokuto terpasang dengan layak, pria tersebut membuka kacamatanya.

"Terima kasih atas kerja kerasnya." Sosok pria cantik mempersembahkan senyum terbaik miliknya.

Hokuto sedikit memutar bola mata. "Kurasa aku sudah tidak sanggup lagi. Oh, malam ini benar-benar gila-ini keajaiban bahwa aku masih bisa berjalan dengan menahan gemetar. Kazuma sudah semakin tidak bisa dikendalikan."

Sebuah tawa kecil tanpa suara dikeluarkan oleh sang pria yang lebih dewasa. Ia merogoh saku jas mahalnya lantas mengeluarkan sebuah amplop kertas berwarna cokelat. Hal yang biasanya paling Hokuto tunggu.

"Ini bayaranmu."

Namun kali ini, lain dari biasanya, Hokuto langsung menyusupkan amplop cokelat tebalnya ke dalam saku jaket tanpa menghitung isinya lebih dahulu. Ia begitu lelah malam ini, baik dari segi fisik maupun mental.

"Kau tahu, Iwata-san... kurasa kau harus menemui anakmu itu dan menjelaskan semua. Kazuma sudah cukup dibuat pusing dan tersiksa dengan segala keanehan yang ia alami selama hampir 18 tahun ini. Ia selalu menganggap dirinya dikutuk sebagai monster."

Pria yang dipanggil 'Iwata' atau lengkapnya 'Iwata Takanori' itu mendengarkan dengan seksama. Ia paham apa yang pemuda 17 tahun itu coba sampaikan, namun untuk menanggapinya, tidak semudah membalik telapak tangan. "Aku sedang menunggu momen yang tepat. Tapi tak usah khawatir, itu tidak akan lama lagi."

Hanya anggukan lemah dikeluarkan sebagai respon.

"Hokuto, terima kasih sudah merawat dan menjaga Kazuma." Takanori mengacak rambut Hokuto sekali sebelum menyalakan mesin mobil.

"Itu... bukan masalah," jawab Hokuto pelan sembari membuang pandangannya ke luar jendela.

Reaksi itu tak gagal membuat Takanori sedikit kaget, pasalnya setiap kali ia berterimakasih pada Hokuto biasanya anak itu hanya akan menjawab cuek dengan kalimat seperti, 'Aku hanya peduli pada bayaranku.' Namun kali ini berbeda. Dalam artian positif tentunya.

Senyum tipis diperlihatkan pria dewasa tersebut sebelum ia membawa Hokuto pergi menembus kesunyian malam.


. . .


Mansion milik keluarga Tosaka dibuat geger akibat permata blue sapphire yang merupakan simbol keagungan keluarga besar berhasil dicuri tanpa pelakunya berhasil tertangkap CCTV. Seisi mansion bertanya-tanya makhluk macam apa yang bisa menjebol keamanan tanpa diketahui satu penjaga pun? Keamanan pada ruangan tempat permata disimpan bahkan setingkat di atas keamanan rumah dinas perdana menteri.

"Tuan Tosaka, Anda harus melihat ini." Seorang dari tim security menghampiri Hiroomi sambil membawa potongan kaca yang masih baru.

"Darah? Dia terlalu ceroboh sampai meninggalkan bekas." Hiroomi tersenyum misterius sebelum memakai sarung tangan hitam kulitnya, mengambil pecahan kaca berhias noda kemerahan itu dengan hati-hati.

Hiroomi mengendusnya selama beberapa detik. Ada getaran aneh di dadanya. Ia mengintip ke luar jendela. Bulan penuh.

Iris cokelatnya berubah jadi biru, ketika ia berkedip warnanya kembali ke semula. Kembali diendusnya darah kering pada sisi pecahan kaca tersebut perlahan, menghirup aroma yang tidak biasa. Kedua matanya terpejam lebih meresapi.

"Ini... darah anakku." Mata Hiroomi terbuka, berkilat merah menyala. "Setelah nyaris putus asa mencari nyatanya dia sendiri yang datang padaku, huh?"

Moongazer - END

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?