SCAR(R)ED

(KazuHoku, RikuItsu)

. . .

'Aku hanya mati, aku tidak pergi.'

Hokuto berkeringat dingin. Jendela kamarnya bergetar oleh hujan berangin yang belum berhenti sejak ia tertidur satu setengah jam lalu.

Sosok lain di sampingnya bergeming, tidak terpengaruh oleh keributan di luar ruangan maupun gerakan yang Hokuto buat. Anak yang terbangun itu meraih air di gelas dan meminum perlahan, menstabilkan detak jantung.

"Itsuki..."


. . .


[13 hari setelah kematian Fujiwara Itsuki]


Pintu apartemen bernomor 16 itu terbuka kencang dari dalam. Seorang pemuda berusia awal duapuluh tahunan didorong keluar oleh pemuda lain yang kelihatan sepantaran. Ada sekelebat kantuk yang masih melingkupi lelaki berambut hitam berantakan-yang baru saja diusir dari ruangan. Bahkan matahari di ufuk timur masih belum mencuat seutuhnya.

"Ini masih terlalu pagi."

Mengabaikan protes yang dilayangkan. Pemuda lain yang merupakan pemilik asli apartemen, menyilangkan tangan di depan dada sambil berwajah sedikit arogan. "Makannya, sudah kubilang jangan menginap!"

"Bukannya kau yang ingin aku menemanimu sampai kau merasa baikan? Apa kau tidak ingat?" Satu alis menukik ke atas dalam tanda tanya.

Yang ditanya segera membantah tanpa ada belas kasih. "Tidak. Kau pasti mengada-ada."

"Padahal kau tidak mabuk."

Mengetahui sang lawan bicara masih mencoba berargumen, sang pemilik apartemen yang diketahui bernama Yoshino Hokuto itu pun mendorong bahu lelaki di depannya. "Ah, sudah pergi sana, Kazuma!"

Mendadak pintu apartemen samping terbuka. Seorang lelaki lain yang tak lebih tua dari dua pemuda yang lebih dulu ada di sana melangkah sambil membawa kantung sampah.

"Pertengkaran pasangan kumpul kebo di pagi hari."

"A-apa?! Kita bukan pasangan kumpul kebo!" Perhatian Hokuto segera terdistraksi. Kini melotot kesal pada tetangga jangkungnya.

"Sssttt..." Kazuma berdesis, takut nada tinggi Hokuto akan mengganggu penghuni apartment lain.

Muka Hokuto memerah.

"Sudah sana pulang." Kali ini gertakan Hokuto terdengar melunak meski mukanya masih saja cemberut. Sepertinya tidak mendapat tidur yang bagus. Ia melangkah mundur sebelum menutup pintu dari dalam dengan sedikit dorongan kasar dan bunyi berdebam.

"Masih berduka?" tanya Ryu, tetangga Hokuto. Ia dan Kazuma berjalan beriringan menuju ke arah yang sama.

Kazuma menguap sebentar. Uap keputihan menguar di udara yang dingin. Ia menarik satu nafas panjang. Perlahan. Membiarkan paru-parunya terisi oleh oksigen yang masih berkualitas bagus. "Ya... Hokuto masih sangat berduka. Bagaimanapun Itsuki adalah sahabat dekatnya."

"Kuharap pelakunya segera ditemukan," ucap Ryu dengan nada rendah. "Sungguh berhati dingin. Miris membayangkan ada orang yang tega membunuh sosok lelaki selembut Itsuki-kun? Ia pasti punya dendam pribadi yang sangat besar padanya. Tapi aku tetap tidak paham. Itsuki-kun terlalu baik untuk dibenci."

Apa yang Ryu katakan sudah menjadi garis besar misteri kematian teman, sahabat mereka, Fujiwara Itsuki, yang meninggal secara tragis setelah mengalami keracunan saat mengunjungi cafe. Ada racun di bekas minumannya. Seluruh staff kafe serta pacarnya yang saat itu bersamanya sudah diperiksa dan dimintai keterangan. Mereka dinyatakan bersih. Lalu belum ada lagi titik terang.

Kepala Kazuma berdenyut nyeri.

"Benar... siapa orang jahat yang tega membunuh Itsuki?"


. . .


[27 hari sebelum kematian Fujiwara Itsuki]


"Awas!"

Belum sedetik berlalu setelah teriakan terdengar, Riku sudah lebih dulu jatuh terjerembab ke semak belukar di samping trotoar akibat dorongan kuat dari arah belakang. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas sepersekian detik di dekatnya. Dadanya bergetar kuat. Seperti... sesaat tadi, kematian begitu dekat dengannya.

Kemudian ia mendongak untuk menatap tangan yang terulur padanya. Wajah familiar itu menatapnya dengan khawatir. Malaikat penolongnya.

"Kau tidak apa-apa?"

"Ya aku hanya-" Riku terbangun dari lamunannya. Ia meraih telapak tangan yang terjulur padanya, menggenggam erat, kemudian menggunakan sebagai tumpuan untuk membantunya kembali berdiri. Jasnya yang kelihatan mahal tergores oleh tanah dan dedaunan kering di sisi belakang. "Itsuki, kau tidak harus mendorongku sekasar tadi."

"Maaf, Riku-san. Tidak ada waktu. Kau bisa terserempet." Pemuda yang lebih muda beralasan, tanpa ekspresi bersalah. Riku tidak bisa marah, tentu saja. Tidak, ketika keteduhan di wajah Itsuki sudah lebih dulu menenangkan hatinya yang sempat dilanda takut dan kecemasan.

"Kau benar-benar cenayang ya? Sudah berapa kali kau berhasil menyelamatkanku dari bahaya? Lima? Tujuh?"

Kalau dipikir-pikir, ini bukan kali pertama atau kedua Itsuki 'menyelamatkan' Riku dari kejadian yang bisa mengarah pada kematian. Itsuki pernah menghindarkannya dari keracunan obat, tabrakan dengan kendaran seperti tadi, menyelamatkannya dari ledakan gas berbahaya, hampir tenggelam... entah sudah berapa kali. Seolah, Itsuki memiliki kekuatan istimewa yang hanya ada di dalam dirinya.

Mendengar pertanyaan seniornya, Itsuki tertawa kecil, memasukkan telapak tangannya ke dalam saku parka yang ia kenakan. Udara di pertengahan bulan September berhembus lebih dingin dari biasanya. "Kebetulan saja."

Dan ini memang yang sesungguhnya terjadi. Kebetulan saja Itsuki memiliki kemampuan di luar manusia lainnya. Ia bisa merasakan mara bahaya di sekitarnya. Terkadang itu berupa sekelebat kejadian di masa depan yang terlihat di matanya ketika ia sedang tidak fokus. Hanya sepintas, mungkin satu menit atau satu jam yang akan datang. Selain penglihatan, ia terkadang bisa merasakan kejadian buruk yang akan datang lewat angin dingin yang berhembus di belakang tengkuknya. Semua sudah ia alami sejak kecil. Tapi ia tidak pernah mengatakan pada siapa-siapa.

"Hari ini ada jadwal pemotretan?" tanya Riku tiba-tiba. Ia dan Itsuki bekerja di agensi artis dan model yang sama. Meskipun Itsuki masih menjadi model paruh waktu, tapi mereka sering bertemu di tempat kerja.

"Sudah selesai."

"Ah, kebetulan." Yang lebih tua menjentikkan jari. "Mau pergi ke kafe yang baru saja dibuka di ujung jalan sana?"

Yang lebih muda nampak berpikir sebentar sebelum mengangguk kecil. "Boleh."

"Ngomong-ngomong..." Dengan wajah tengil, Riku berbisik, "Itu neko cafe."

"Benarkah?!"

"Hei, wajahmu langsung berseri-seri." Riku tertawa. Tangan besarnya mengacak rambut hitam lebat sang partner kerja, kemudian lengannya melingkar pada pundak yang lebih muda, menariknya kuat sambil berjalan beriringan.

Itsuki tidak bisa menyembunyikan nyala di permukaan kulitnya sambil mempertahankan ekspresi stagnan. Angin dingin bulan September perlahan menghangat.


. . .


[23 hari setelah kematian Fujiwara Itsuki]


Takahide tak sengaja membenturkan sikunya pada punggung Hokuto, mengakibatkan anak yang sedang melamun itu bangun dari lamunannya dan menoleh dengan tatapan penuh tanya-dan rasa terima kasih yang tersirat.

"Akk-maaf, Hokuto!" ucap Takahide sambil menangkupkan tangannya di depan wajah.

"Hati-hati." Yang merespon justru Kazuma, saat Hokuto tidak mengatakan apa-apa dan kembali fokus pada catatannya dengan wajah lesu. Sudah berhari-hari ia kehilangan semangat.

"Iya, Kazuma. Aku ceroboh." Setelah memastikan ia tidak melukai Hokuto, Takahide menyingkir.

Kazuma memangku wajahnya sembari menatap punggung Hokuto yang kaku. Biasanya ia akan mengganggu dengan menekan-nekan pensil mekaniknya pada punggung itu untuk membuatnya marah. Tapi percuma, tak berefek lagi sekarang. Jika ia mencoba menarik perhatian Hokuto, anak itu tidak akan peduli atau malah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mengkhawatirkan.

"Hokuto, jangan memaksakan diri."

"Aku baik-baik saja."

Kazuma kembali diam di kursinya. Setidaknya, kali ini Hokuto merespon.

Ketika jam perkuliahan berakhir, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hokuto dan Kazuma tertahan akibat hujan deras. Tak satupun dari mereka memperhatikan prakiraan cuaca pagi hari tadi.

"Aku pergi."

"Di luar masih hujan deras, kau bisa sakit kalau-"

"Siapa bilang kalau aku mau pergi ke rumah?"

Kazuma mengikuti Hokuto yang berjalan lebih dahulu di tengah koridor yang sepi dan remang-remang. Angin dingin berair yang ditiupkan menegakkan bulu di tengkuk Kazuma. Ia mengintip pada punggung Hokuto yang berjalan dengan santai.

Mereka tak mengucapkan sepatah kata pun.

Ketika sampai di gerbang, Hokuto berlari. Kazuma mau tidak mau nengikutinya. Ada perasaan tidak enak yang menyelimutinya.

Hokuto memasuki sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan. Hanya ada sekitar tiga pengunjung-sepasang muda-mudi dan seorang pekerja kantoran yang tengah menyesap kopi.

Kazuma tertegun ketika mendapati Hokuto berdiri seperti ragu-ragu di tengah pintu masuk.

"Irasshaimase."

Ia menganggukan kepala pada karyawan kafe yang menyapa, sebelum berjalan pelan menuju meja kecil untuk dua orang yang terletak di dekat jendela paling belakang. Ia duduk di salah satu kursinya. Kazuma duduk di seberangnya. Melihat wajah Hokuto yang diselimuti awan abu-abu, Kazuma berusaha menarik perhatian. "Jangan melamun."

"Tidak. Aku hanya..." Hokuto mendapati pandangannya berkabut, "...aku sedang duduk pada tempat di mana Itsuki menghembuskan nafas untuk terakhir kali. Aku merasa... sesak."

"Itsuki tidak akan senang melihatmu seperti ini."

"Aku tahu. Aku ingin memastikan ia baik-baik saja setelah kematiannya. Tidak ada dendam maupun kesedihan. Aku ingin mengakhiri penderitaannya." Hokuto mengeraskan kepalan tangannya. "Kita harus mencaritahu siapa yang membunuh Itsuki."

"Kita akan menemukannya."


. . .


[15 hari sebelum kematian Fujiwara Itsuki]


"Aku ingin memelihara kucing."

Saat itu matahari sudah setengah jatuh di ufuk Barat jalanan Shibuya. Itsuki berhenti di depan etalase petshop, memandang seekor kucing yang sedang bermain di lantai sendirian.

"Kau sudah mengatakannya ratusan kali," respon Riku sambil ikut memperhatikan benda-benda lain yang terpajang di etalase.

"Pengurus apartemen tidak mengizinkan."

"Karena itu, kenapa kau tidak mau tinggal bersamaku? Tidak masalah kalau mau memelihara sepuluh ekor kucing sekalipun."

"Tidak, Riku-san. Belum saatnya. Lagi pula nanti teman-temanku terutama Hokuto akan heboh mencariku."

"Kalau itu Hoku-chan, dia bisa bebas berkunjung."

Ada gelak kecil yang lolos dari belah bibir Itsuki. "Nanti dia bertanya macam-macam."

"Kau belum siap bicara padanya?"

Itsuki terdiam.

"Atau, kau masih belum sepenuhnya percaya padaku?"

Pandangan Itsuki jatuh pada sekelebat bayangan tali kalung di leher Riku. Ada cincin yang dilingkarkan di sana. Itsuki tidak tahu apakah itu cincin pernikahan atau cincin pertunangan-jujur, menurutnya Riku masih terlalu muda untuk seseorang yang sudah menikah jadi opsi kedua mungkin lebih masuk akal, meski tidak ada seorang pun yang mampu menjamin tuk saat ini.

Satu hal yang jelas, Riku tidak mungkin menyembunyikan cincin itu pada kalungnya jika barang itu adalah miliknya pribadi dan tidak terikat dengan orang lain. Lagi pula Itsuki punya firasat tidak baik soal itu. Dan sialnya, firasatnya jarang sekali salah.

Tapi untuk sekarang, Itsuki tidak ingin terlalu memikirkannya.

"Aku ingin memelihara munchkin berbulu putih oranye."

"Akan kubelikan sebagai hadiah ulang tahunmu."

"Masih lama, Riku-san."

Riku menggapai telapak tangan Itsuki yang sedikit menggigil oleh angin malam. Meremasnya lembut hingga suhunya berangsur-angsur naik.

"Tenang saja. Kita masih akan bersama sampai saat itu. Sampai ulang tahunmu yang berikut-berikutnya."


. . .


[39 hari setelah kematian Fujiwara Itsuki]


"Bagaimana caranya memanggil arwah penasaran?"

"Hokuto, jangan lakukan."

Akhir-akhir ini pertengkaran kecil di ruangan apartment yang sempit Hokuto selalu jadi rutinitas pagi baginya dan Kazuma.

"Aku harus bertanya pada arwah Itsuki tentang siapa orang yang membunuhnya. Polisi bekerja dengan tidak becus. Sudah satu bulan lebih mereka tidak membuahkan hasil!"

"Itsuki sudah tenang."

"Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau pernah mati? Dengan meninggal seperti itu bagaimana mungkin ia bisa tenang? Ia menunggu kita untuk menenangkan jiwanya, Kazuma. Kalau kau tidak mau membantuku aku bisa melakukan semua sendiri!"

"Hokuto..."

"Aku akan pergi ke tempat Rui."

Harusnya Kazuma sadar betapa keras kepala bocah satu itu. Menghalanginya hanya akan berakhir sia-sia. Maka ketika Hokuto mencomot jaket tebalnya dari balik pintu, Kazuma menghampirinya dengan kepala dingin dan nada suara yang tenang.

"Kita pergi bersama. Jangan pergi sendirian, kau harus terus bersamaku."

Hokuto diam-diam merasa tersentuh mendengarnya. Emosinya tidak terlalu stabil akhir-akhir ini, tetapi Kazuma tetap bersabar menghadapinya.

"Aku akan menemanimu. Ke manapun kau pergi."

Tatapan Hokuto semakin melembut. Namun ia segera menyingkirkan pandangannya dan beranjak pergi setelah memakai jaket dan membawa payung. Apartemen Rui tidak jauh dari apartemennya jadi ia memutuskan untuk jalan kaki. Bersama Kazuma.

Sesampainya di depan pintu apartemen Rui, bel dibunyikan.

Seorang pemuda berambut ungu terang yang nyentrik membuka pintu sambil menyunggingkan senyum lebar. "Hei, tumben kalian ke sini."

"Aku mengirimimu line tadi," ucap Hokuto.

"Ah, pasti aku terlalu tenggelam dalam permainan yang sedang kulakukan dengan teman-temanku. Tidak sadar, maaf ya. Ayo masuk. Maaf, sedikit ramai."

Hokuto dan Kazuma masuk ke dalam apartemen yang ternyata memang lumayan ramai oleh suara beberapa pemuda. Ada tiga orang teman Rui yang sedang duduk mengelilingi meja, sepertinya mereka sedang bermain. Hokuto dan Kazuma mengenali salah satunya. Namanya Kenta, anak fakultas teknik.

"Sepertinya aku mengganggu." Hokuto tiba-tiba merasa ragu.

Rui mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka. "Santai saja, kami tidak merasa terganggu."

"Ada hal penting menyangkut orang yang kau sayangi yang sedang menghantuimu?" Salah satu di antara teman Rui mengangkat mulut. Ia memiliki rambut pirang panjang dan bergelombang, cantik.

Cukup lama Hokuto dibuat bungkam sebelum mulutnya kembali terbuka. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Mereka sama sepertiku."

Kali ini Kazuma yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut, menatap Rui lekat-lekat. "Maksudmu... mereka juga sensitif?"

Sambil mengangguk, sang tuan rumah menunjuk salah satu temannya yang segera mengangkat tangan dan tersenyum alakadarnya. "Oh ya, ini Kenta. Kalian pernah bertemu beberapa kali kan?"

Pertanyaan Rui direspon dengan anggukan serempak setelah Kazuma dan Hokuto membalas sapaan Kenta.

"Yang ini Ryuchell dan Sho. Kenalkan, mereka teman sekelasku, Hokuto dan Kazuma."

Keempatnya saling berjabat tangan. Si pemuda berambut pirang panjang tak henti tersenyum ke arah Hokuto secara misterius. Ia membisikkan sesuatu yang tidak anak itu mengerti namun sepertinya penting.

"Salam kenal." Lelaki bernama Sho itu mungkin satu-satunya yang paling terlihat seperti orang biasa-maksudnya, jika orang awam melihat Rui, Kenta, dan Ryuchell, mereka bisa merasakan ada yang istimewa dari ketiganya entah dari aura atau tatapan mata. Tetapi Sho berbeda. Tatapan matanya lebih teduh dan bersahabat.

Kazuma dan Hokuto tahu kalau Rui memang memiliki koneksi dengan sesama mahasiswa perantauan dari Okinawa. Mereka membuat semacam geng? Bernama HAISAI-terinspirasi dari sapaan khas Okinawa. Mereka berdua tidak menyangka jika grup tersebut rupanya bukan sekadar grup nongkrong yang tidak punya tujuan.

"Jadi-" Ucapan Rui langsung dipotong.

"Beritahu aku caranya berkomunikasi dengan arwah seseorang yang sudah meninggal!"

Rui dan ketiga sahabatnya saling menatap begitu Hokuto menyampaikan tujuannya, meski anehnya tak ada satupun dari mereka yang nampak terkejut.


. . .


[7 hari sebelum kematian Fujiwara Itsuki]

"Riku-san, apa kau sadar bahwa bahaya yang selalu mengincarmu diakibatkan oleh keberadaanku?"

Itsuki menarik selimutnya sampai sebatas dada. Langit-langit kamar yang tinggi menjadi fokus perhatiannya saat bicara. Seperti ada rasa sesak di rongga paru-paru.

"Kau tidak bisa bersamaku, Riku-san. Aku tidak mampu melindungimu selamanya."

Satu tarikan nafas dalam diambil. Kelopak matanya meneduh. Memalingkan wajah ke sisi kanan, ada wajah damai seorang pria yang terbuai ke mimpi.

"Kembalilah pada hidupmu yang aman dan tenang. Lupakan aku."

Itsuki mengusap sisi wajah Riku sebelum menghela nafas. Ia mematikan lampu tidur dengan sebersit doa: semoga esok ketika dirinya terbangun, sosok lelaki yang terlelap di sampingnya itu sudah pergi. Selalu, selalu itu yang Itsuki harapkan. Sayang, Riku tak pernah mengabulkannya.


(PART 1 of 2 - END)

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?