見出し画像

悪魔との契約 (A Deal with The Devil)

Hokuto secara ajaib menemukan Kazuma yang baru saja keluar dari kafetaria. Dengan satu tarikan kuat, ia menarik lengan lelaki sebaya berambut hitam yang disisir ke belakang itu. Ketika tidak ada seorang pun di radius lima meter dari mereka, Hokuto mengeluarkan secarik foto pemuda yang memakai pakaian berlogo Supreme dari kantung kemejanya. "Bunuh dia."



Kazuma menerima foto itu, mengamati sekilas. "Siapa?"



"Hasegawa Makoto."



"Siapa?" tanya Kazuma lagi, kali ini mengangkat wajah hanya untuk menemukan wajah lawan bicaranya yang kesal.



"Jangan banyak tanya. Aku tidak mau Itsuki terus-terusan mengabaikanku gara-gara dia!"



Pemuda rambut hitam tersebut mengangguk-angguk, entah karena ia benar-benar memahami atau ingin menghindari adanya konflik. Ia bisa membaca dengan mudah bagaimana Hokuto sedang dalam mood yang sangat buruk. Manusia manapun pasti ingin segera kabur jika berpapasan dengan wajah itu.



"Cemburu, huh?" Kecuali bahwa Kazuma bukan semata-mata 'manusia' seperti orang lain pada umumnya jadi ia memilih untuk bermain-main dengan Hokuto yang menahan emosi dengan kedua lengan terlipat di depan dada.



"Berapa aku harus membayarmu?"



"Tergantung bagaimana kau ingin dia mati. Kenapa kau selalu lupa caranya bertransaksi denganku?" Kali ini seolah keadaan berbalik, raut kesal berpindah ke pemuda satunya. Hanya saja tak berlangsung lama.



Lima menit digunakan untuk berpikir serius.



"Kecelakaan," gumam Hokuto, sebelum melanjutkan, "...tersengat listrik, tiga hari dari sekarang."



"Kenapa tidak hari ini saja?"



"Terserah aku!" seru yang lebih muda dengan nada tinggi, memancing perhatian dari mahasiswa dan mahasiswi lain yang kebetulan saja lewat di dekat mereka.



Sembari menahan tawa, Kazuma menarik Hokuto ke sudut yang lebih sepi. Ia menarik nafas panjang, sedikit berbisik. "Lalu, metode pembayarannya... hm... 5 bulan sisa umurmu atau... bercinta denganku."



Terdengar suara decakkan lidah yang seolah mengejek. "Ck. Kau tahu kan aku selalu menggunakan metode pembayaran yang sama?!"



"Kau yakin? Bukankah bercinta denganku adalah metode pembayaran paling mudah dan efisien?" Wajah sombong dan nakal Kazuma nyaris membuat telapak tangan sang lawan terkepal untuk memukulnya.



"Berapa jumlah umurku yang tersisa?"



Kazuma diam. Ia memfokuskan sorot mata beriris cokelat miliknya pada titik di tengah dahi Hokuto. Yang diperhatikan bergeming, meski ia merasakan getaran dingin yang aneh di belakang lehernya.



"Ya," respon Kazuma tak lama kemudian. "Aku tak bisa mengatakannya."



"Tapi masih cukup untuk membayarnya kan?" Manusia di hadapannya benar-benar sulit dipahami. Baru kali ini Kazuma bertemu dengan orang yang lebih mengkhawatirkan bagaimana ia tidak bisa membayar iblis untuk membunuh orang lain ketimbang mengkhawatirkan sisa waktu hidupnya di dunia. Putus asa?



"Hm..."



Tak kunjung ada jawaban jelas yang keluar dari mulut Kazuma, Hokuto menampar pelan lengannya. "Hei, aku mulai curiga-"



"Baiklah, sampai jumpa. Aku ada kelas!" Kazuma mendadak memotong ucapan pemuda berambut kemerahan itu, mencondongkan kepalanya ke depan dengan cepat, menyapu sudut mulut Hokuto yang mengerucut kesal dengan bibirnya, sebelum beranjak pergi dengan sedikit tergesa.



🍀



Kawamura Kazuma, mahasiswa tingkat 2 Ilmu Sosial, bukanlah sepenuhnya manusia. Di dalam tubuh normal itu tersimpan jiwa sesosok pangeran iblis. Ia bisa mengabulkan semua permintaan jahat manusia yang membuat kontrak dengannya. Dalam hal ini, dia telah membuat kontrak dengan Yoshino Hokuto, mahasiswa seangkatannya yang telah membantunya melepas segel satu tahun lalu.



Kazuma adalah pangeran iblis yang dikutuk dan disegel di salah satu sudut Bumi. Sampai Hokuto tanpa sengaja menemukannya dan membantunya bebas. Mereka membuat kontrak. Hokuto selalu meminta Kazuma untuk menyingkirkan orang-orang yang mendekati Itsuki-sahabat dekatnya yang ia sukai-sementara Kazuma memintanya menjadi kekasihnya, timbal balik yang sangat mudah dan cenderung aneh.



Hokuto pikir dengan menjadi kekasih Kazuma sudah membayar semuanya. Ternyata ada transaksi yang harus diselesaikan setiap kali ia mengajukan permintaan. Kazuma akan melakukan yang Hokuto perintahkan dengan bayaran yang sepadan: mengambil sisa umur atau bercinta dengannya.



Terdengar konyol, tetapi Hokuto selalu serius dengan keputusannya. Seolah membuang umur sama saja dengan membuang-buang uang yang bisa dicari lagi jika sudah habis...



Ia tak pernah mengambil opsi bercinta dengan iblis, karena dengan itu artinya ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk Kazuma. Ya, manusia akan berubah menjadi iblis jika bercinta dengan kaum mereka.



"Apa kau tidak pernah cemburu?" tanya Hokuto tiba-tiba, di tengah kebosanan. Ia tengah menemani Kazuma mengerjakan tugas di kafe, mengambil tempat duduk terjauh dari keramaian. Meja mereka sedikit ramai oleh keranjang french fries, burger yang setengahnya belum habus-milik Kazuma, dan gelas tes susu.



"Memang kenapa kalau tidak cemburu?" Reaksi Kazuma begitu enteng, tidak seperti yang Hokuto bayangkan. Bahkan kedua mata itu tetap fokus pada layar laptop ketika diajak bicara.



Hokuto mendengus pelan, meraih gelas teh susu berisi boba miliknya dan menyedot kuat-kuat. Pipinya menggembung dengan isi yang penuh.



"Bukankah aku pacarmu?" Keras kepala.



Kazuma urung mengetikkan kata-kata yang terangkai di otaknya. Ia meluruskan punggung lantas mengangkat sepasang bola mata teduh itu ke depan, menatap jenaka pada sepasang bola mata lain di depannya, agak bingung.



"Ini pertama kali kau menyebut dirimu sebagai pacarku."



"Kita kan sudah sama-sama tahu jadi untuk apa menyebutnya setiap saat?" Anak itu melengos, menyembunyikan wajah merahnya dari tatapan menggoda sang kekasih.



"Aku iblis. Apa kau pikir aku punya hati?"



"Ragamu masih manusia, tentu saja masih ada hati di sini." Hokuto melompat ke samping untuk mencubit perut bagian kanan Kazuma, membuat sang empunya tergelak kecil. Ia menyeringai, " Lihat, kau bahkan masih bisa tertawa."



"Bukan hati itu yang kumaksud..."



Tentu saja bukan itu, Hokuto merasa Kazuma begitu bodoh. Bahkan sejujurnya, kekasihnya itu sama sekali tidak cocok menjadi iblis. Ia tidak pernah bertanya tentang asal usul Kazuma meski ia selalu dikelilingin rasa penasaran. Apakah Kazuma dulunya malaikat yang dikutuk menjadi iblis? Itu bisa saja terjadi, kan?



Kazuma juga terkenal baik di kalangan mahasiswa lain. Ia suka membantu dan menolong siapapun yang kesusahan. Apakah hanya kamuflase?



Hokuto menggelengkan kepala pelan. Tapi bahkan dengannya pun, Kazuma tidak pernah berlaku seperti iblis. Kenapa? Kazuma tidak pernah melakukan hal yang jahat padanya, bahkan ketika ia tahu bahwa Hokuto lebih mencintai Itsuki ketimbang dirinya. Apa karena iblis tidak mempunyai hati? Atau Kazuma pun menganggap hubungan mereka hanya semacam permainan?



Begitu banyak pertanyaan berkumpul di kepala Hokuto.



"Siapa yang lebih kau cintai? Aku atau Itsuki?"



Pertanyaan yang muncul secara tak diduga itu menyadarkan Hokuto dari kekalutan pikirannya. Ia berkedip dua kali sebelum menjawab.



"Itsuki. Apa kau tahu? Aku pernah bercinta dengannya."



Kazuma tidak menampilkan ekspresi apapun selama beberapa detik, sebelum ia tergelak pelan... kemudian menjadi tawa geli. "Melihat sisa umurmu saja aku bisa apalagi melihat kebohongan murahan seperti itu?"



Permukaan telinga Hokuto memerah. Ia menyingkirkan pandangannya ke jendela di samping meja mereka untuk menghindari rasa malu, memperhatikan hujan rintik-rintik yang turun entah sejak kapan.



"Lagi pula Itsuki hanya menganggapmu sahabat, menyerah saja."



"..." Tidak ada jawaban. Perhatian Hokuto tenggelam bersama suara hujan.



"Hiduplah bersamaku selamanya-"



Ketika Hokuto menoleh dengan terkejut, ia tersedot oleh lensa mata Kazuma yang begitu jernih, begitu polos dan penuh kesungguhan. Siapa yang menyangka jika pemuda di depannya adalah iblis...



"-di neraka."



Baiklah, dia memang iblis.



"Sialaaan!!" Hokuto memukulkan keranjang french fries yang sudah kosong berkali-kali pada punggung Kazuma, berusaha mengusir seringai yang berubah menjadi senyum ejekan itu dari paras yang tampan.



🍀



Di hari eksekusi Hasegawa Makoto, Hokuto muncul di depan pintu apartemen Kazuma dengan badan basah kuyup dan menggigil. Hujan tidak berhenti sejak pagi sampai malam, membuat Kazuma sedikit bingung untuk menentukan waktu pelaksanaan.



Dia sudah bersiap dengan jubah hitam, hendak pergi dalam hitungan menit saat Hokuto mendorongnya kembali ke dalam ruangan yang gelap. Bunyi petir serta deru angin bertiup kencang di balik punggung Hokuto yang gemetar.



"Aku ingin membatalkan perjanjian terakhir kita!"



Dahi Kazuma berkerut. Hokuto tidak pernah membatalkan perjanjian sebelumnya. Dan lagi, bukankah seharusnya ia sedang berkencan dengan Itsuki sekarang?



Apa yang terjadi?



Kazuma maju selangkah, tapi Hokuto mendorongnya lagi ke belakang dengan lebih keras. "AKU TIDAK INGIN ITSUKI BERSEDIH GARA-GARA MAKOTO MENINGGAL!"



Denging vokal yang keras dan bergetar memenuhi dinding sempit, bersaing dengan bunyi petir yang semakin kuat.



"Hokuto-"



"BAHKAN KAU YANG MERUPAKAN IBLIS PUN TIDAK PERNAH SEEGOIS DIRIKU!" Wajah Hokuto yang basah kuyup oleh hujan dan air mata nampak begitu menyedihkan. Entah perasaan apa yang mendominasi di sana. Kesedihan? Amarah? Keputusasaan?



"Dengar-"



"SEKARANG!"



Kazuma menghela nafas panjang dan lelah. Ia mundur dan mendudukan diri di samping tempat tidurnya dengan tenang sebelum membuka tudung jubah panjang yang ia kenakan. Pemuda berambut hitam itu tersenyum tipis. "Mau kau memaksa pun, aku harus bicara terus terang. Sisa umurmu tidak cukup untuk membayar penalti."



"Bohong..." elak Hokuto dengan suara yang goyah, seakan-akan untuk pertama kalinya ia peduli pada nyawanya sendiri. "Berapa lama lagi aku akan hidup? Satu bulan? Dua minggu? Tiga hari?!"



"Maaf, Hokuto."



"Ini pertama kalinya kau menolakku..."



Telapak tangan Hokuto terkepal. Ada urat kehijauan yang menonjol dari permukaan bawah lengannya. Ia merasa begitu tidak berdaya, begitu kesal.



Menyesal.



Kencan dengan Itsuki tidak berjalan lancar. Bukan karena mereka cekcok atau bertengkar. Itsuki terus berbicara tentang Makoto-bagaimana pemuda itu bisa membuat sahabatnya tersenyum gembira serta memperlihatkan wajah bahagia yang belum pernah Hokuto lihat sebelumnya-tetapi bukan itu yang membuat Hokuto kesal dan menyesal. Karena sepanjang hari, meskipun Itsuki selalu berada di hadapannya, hanya ada Kazuma yang memenuhi pikirannya.



Ia memang cemburu pada Makoto yang lebih bisa membahagiakan Itsuki ketimbang dirinya, tetapi ia lebih cemburu pada Kazuma yang tidak memiliki rasa cemburu dan tidak akan bisa merasa sakit jika orang yang dia cintai mencintai orang lain. Ia murka. Ia harus menyelamatkan Makoto demi Itsuki.



Hokuto berjalan mendekat, mengusap air yang berkumpul di wajahnya dengan lengan tangan, mencoba memasang wajah berani. "Kau pikir bisa membodohiku, hah? Masih ada metode pembayaran lain, bukan?!"



Kedua bola mata Kazuma melebar ketika Hokuto duduk di atas pangkuannya tanpa aba-aba, dengan sekujur badan yang basah serta menggigil kedinginan. Lengannya dilingkarkan pada leher Kazuma yang masih bertanya-tanya.



Namun Hokuto memilih untuk memasang wajah sombong. "Mari bercinta."



Kazuma menutup mulutnya dengan punggung tangan, terpesona dengan keberanian sang kekasih. Manusia muda yang bodoh itu serius ingin mengubah dirinya menjadi iblis hanya karena tidak ingin sahabatnya bersedih?



Sungguh menggemaskan sekaligus menyedihkan.



"Kau terlalu mencintai sahabatmu, aku sangat cemburu."



- END -

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?