[KazuHoku] 今夜のデザートは甘酸っぱい話 (Tonight's Dessert Is Sweet and Sour Talk)

Kepala dengan mahkota hitam kemerahan Hokuto terkantuk-kantuk. Pergelangan tangan yang menekuk menahan kepala agar tidak jatuh ke meja agaknya sudah mulai pegal tuk terus berlanjut.

"Baiklah, kuliah hari ini sampai di sini."

Pemuda 21 tahun itu melepas satu hembusan nafas lega. Kacamata minusnya ia copot, melipatnya dengan rapi ke dalam case, sebelum menyimpan dengan hati-hati masuk ke slot di dalam ransel miliknya. Mahasiswa tahun ke-3 jurusan ekonomi tersebut ingin pulang secepat mungkin ke apartemen untuk mengistirahatkan diri.

Hokuto beranjak dari tempat duduk setelah semua teman sekelasnya pergi. Pundak kiri mengangkat ransel, langkah kaki terasa berat kala ia menjajaki koridor kampus di mana mahasiswa lain yang memiliki jadwal berbeda darinya mulai berlarian mencari kelas.

Sebetulnya tidak biasa bagi Hokuto mempedulikan keadaan sekitar, namun entah bagaimana ketika melewati sebuah cermin lebar yang menempel di tembok, sebuah objek tak biasa menarik perhatiannya. Hokuto mendekat ke arah cermin, memastikan adanya sebuah bercak kemerahan berdiameter sekitar 3 cm di perpotongan leher sebelah kirinya.

Pupilnya melebar. Panik. Ditutupinya bercak tersebut dengan telapak tangan, sementara kepalanya menoleh ke sisi kanan dan kiri. Batinnya mulai bertanya-tanya apakah tadi, sebelum ini, ada yang sempat menyadari keberadaan bercak itu?

Langkah sepatu bergegas menuju toilet terdekat. Beruntung, tak ada seorang pun kecuali dirinya yang ada di sana.

"Aku pasti terlalu terburu-buru sampai tidak menyadarinya." Hokuto melenguh lelah. Dikeluarkannya semua barang dalam ranselnya dalam satu hentakan ke lantai, sampai fokus matanya menemukan sebuah tube kecil kehijauan. Diputar tutupnya hingga terbuka, menekannya hingga cairan kental semi padat berbentuk krim berwarna porcelain keluar dari sana. "Setidaknya ini bisa menyamarkan meskipun cuma sedikit."

Sambil meratakan krim tersebut pada lehernya, dahi Hokuto berkerut.

"Sudah lama dia tidak meninggalkan kiss mark-"

Mulutnya mendadak terkunci rapat. Ditutup kembali tube krim miliknya tanpa membuang waktu, merapikan seisi ransel kembali seperti semula. Mungkin ia bisa lebih sedikit tenang sekarang melewati kumpulan manusia yang berlalu-lalang.

"Hoaaahm..." Hokuto menguap lebar hingga sudut matanya berair. Jejak semakin dipercepat. Wajah orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan mulai nampak kabur.

Bruk!

Bisa ditebak, peristiwa klise akibat kurangnya fokus, menyebabkan dua insan yang secara acak menabrak satu sama lain hingga satu di antaranya harus menjadi yang paling sial karena nyaris terjerembab menabrak tong sampah terdekat.

"Ah, maaf! Kau tidak apa-apa?"

Hokuto shock. Meringis sebentar kala dirasakan pegal di pantatnya yang menabrak lantai keramik. Sontak ia menggeleng, menandakan bahwa ia cukup baik-baik saja. Sebuah lengan terulur padanya. Hokuto menerima.

"Aku tidak apa-apa," jawab Hokuto sekenanya setelah berhasil kembali berdiri di atas kedua kakinya, tersenyum kecil pada si penolong sekaligus korban dari kecelakaan kecil yang baru mereka alami.

"Kau yakin? Wajahmu sedikit pucat." Pemuda berambut hitam pekat dengan tindik hitam di masing-masing daun telinganya itu menatap lurus pada bola mata bulat di hadapannya, lekat.

"Iya." Hokuto mengangguk mantap, mencoba meyakinkan. Ia tersenyum kecil. "Maaf, tapi aku sedang buru-buru."

"Ah, aku yang harusnya minta maaf." Pemuda yang lebih tinggi beberapa senti dari Hokuto itu menggaruk belakang kepalanya.

"Makoto, kau tidak apa-apa?" Suara lain di depan mereka berdua mengalihkan perhatian. Makoto, pemuda berambut gelap pekat tersebut menoleh ke belakang.

"Kazuma-san, tunggu sebentar." Yang ia butuhkan sekarang hanyalah memastikan bahwa mahasiswa yang ditabraknya tidak terluka sama sekali. Namun detik di mana ia kembali mencoba fokus pada Hokuto, anak itu sudah menghilang.

"Eh? Kemana dia?"

. . .



Perjalanan 30 menit yang terasa amat panjang dari kampus sampai ke apartemennya dengan jalan kaki terbayar sudah ketika indera penciuman Hokuto menemukan udara familiar dari apartemen yang ia tinggali.

Dengan membiarkan sepatunya tergeletak di genkan begitu saja, Hokuto menyeret ranselnya melewati ruang tamu, ruang tengah, dan berakhir di kamarnya yang terang disinari cahaya matahari dari kaca jendela.

Ranselnya diletakkan di sudut ruangan. Hokuto menarik nafas dalam-dalam. Sekujur badannya pegal. Jika bukan karena ia kehilangan uang jatah naik bus pulang, mungkin tidak akan secapek ini. Sepertinya uang itu jatuh ketika ia menabrak pemuda berambut gelap tadi.

Sang putra tunggal keluarga Yoshino memanjat ke atas kasur putihnya yang empuk nan hangat, merebahkan diri dengan punggung menghadap langit-langit. Namun sebentar kemudian ia berguling ke samping, menengadah.

Saat itu baru pukul 12 siang. Samar-samar Hokuto melihat kelopak-kelopak pink keputihan sakura yang diterbangan angin tepat berjatuhan depan jendela apartemennya, begitu tenang dan damai. Saking tenangnya, ia pun terhipnotis.

. . .


Hokuto terbangun ketika mendengar suara alat-alat masak beradu di dapur. Ia membuka separuh penglihatannya. Lampu kamar telah menyala sementara gorden jendela kamar sudah tertutup. "Huh?"

Masih dengan kantuk yang sedikit bersisa, ia mengaktifkan handphone yang ada di samping bantalnya, sekadar mengintip waktu. Pukul 7:19 malam. Hokuto termenung selama beberapa saat sebelum perlahan memaksa tubuhnya tuk melepas malas dengan duduk, mengumpulkan kesadaran. Masih tidak percaya menghabiskan 7 jam untuk tidur siang sampai sore. Luar biasa.

Tok.
Tok.
Tok.

Tiga ketukan kecil pada daun pintu kamarnya yang tertutup rapat mengalihkan perhatian.

"Hokuto, kau sudah bangun? Aku sudah menyiapkan makan malam." Terdengar suara yang begitu familiar.

"Hai," jawab Hokuto parau. Ketika ia yakin pemilik suara tadi sudah tak ada di depan pintu, ia menyeret kakinya keluar dan berbelok menuju wastafel untuk mencuci muka. Hokuto mengerjapkan kelopak mata berkali-kali. Diperhatikan dengan seksama ekspresi mukanya dalam pantulan cermin. Seperti mayat yang baru bangkit dari kubur.

Tanpa berlama-lama merenung-dan kebetulan perutnya sudah memberontak ingin dijejali sesuatu, Hokuto mengganti kemejanya yang sudah kusut dengan t-shirt putih tebal berlengan panjang karena udara mulai sedikit dingin sebelum bergegas menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Seorang lelaki yang sepantaran dengannya-lebih tinggi sedikit, berambut hitam rapi yang disisir ke belakang, menyambutnya dengan senyum. Di genggamannya terdapat sebuah teflon berisi karaage yang masih mengepul panas, memercikan minyak.

"Kazuma? Jam berapa kau pulang?" Hokuto mengucek-ucek matanya sambil duduk di atas salah satu kursi. Alat makan sudah tertata rapi di atas meja. Di sudut yang agak jauh, dari dua buah mug identik yang masing-masing bertuliskan kanji 吉野北人 dan 川村壱馬 tercium aroma manis dan pahit yang berlomba mendominasi.

"Sekitar jam 3? Kau ingat bertabrakan dengan Makoto tadi di koridor? Aku juga ada di sana. Karena terus kepikiran denganmu yang pucat pasi seperti lobak jadi sepulang kuliah aku langsung pulang."

Hokuto lantas mengangguk-angguk meski sedikit tidak terima dibilang mirip lobak. "Kurasa aku hanya kurang tidur."

Tanpa menunggu lebih lama semua makanan dengan 4 jenis berbeda telah berhasil Kazuma selesaikan. Pemuda itu memilih duduk di kursi yang berseberangan dengan Hokuto. Keduanya menatap hidangan yang tersaji dengan pandangan kelaparan. Terutama Hokuto yang energinya telah terkuras habis sejak pagi. Muka nyaris sekaratnya sudah kembali berseri-seri.

Kazuma yang melihatnya tergelak kecil, "Makanlah yang banyak."

"Tanpa Kazuma suruh juga aku akan makan banyak," balas Hokuto yang diakhiri dengan juluran lidah. Tangan kanannya sibuk menyendok nasi sepenuh yang mampu mangkuknya tampung.

Keduanya serempak menangkupkan kedua tangan di depan dada dan mengangguk pelan sebagai tanda memulai makan.

"Itadakimasu."

Menikmati makan malam dengan fokus dan tenang adalah yang selalu dua pemuda itu lakukan semenjak hari pertama mereka tinggal bersama. Tidak ada yang betah bicara apalagi ketika otak dan lidah terdistraksi oleh nikmatnya makanan yang semakin jago Kazuma dan Hokuto olah. Yang diperbolehkan menjadi bunyi pengiring hanyalah suara sumpit yang beradu dengan mangkuk dan piring.

Musim semi adalah musim yang sunyi dan tenang, berbeda dengan musim panas yang penuh dengan suara serangga yang bisa memeriahkan malam. Kazuma dan Hokuto memang tidak banyak bicara, tak hanya saat menikmati makan, terkadang pun jika mereka sedang sibuk menikmati berada dalam dunia masing-masing maka detak jarum jam, tetesan air dari keran, bahkan deru mesin kulkas yang lemah pun sampai terdengar mengagetkan.

Tak sampai dua puluh menit, semua nasi beserta lauk-pauknya ludes tak bersisa. Lagi-lagi, dengan gesture serempak di timing yang tepat, keduanya kembali mengatupkan tangan di depan dada, mengulang ritual yang sama dengan tujuan berbeda.

"Gochisousama deshita."

Kazuma dan Hokuto tertawa bersamaan. Yang sedikit lebih tua mulai memberesi alat makan, menumpuk mereka dengan rapi, lalu membawanya ke bak cuci piring.

"Biar kubantu." Ujung jemari kaki Hokuto turun menyentuh lantai, ia berjingkat, namun dengan kilat Kazuma menangkap bahunya dan mendorong kembali yang lebih muda untuk duduk.

"Kau diam saja di sini, biar aku yang membereskan semuanya."

Sebersit senyuman di bibir Kazuma membuat bingung Hokuto, namun ia kesampingkan rasa heran dan mengulang hal yang sama, mengendap-endap untuk meraih bak cuci piring. Kazuma mendorongnya lagi. Hokuto tidak menyerah. "Tapi kau kan sudah memasak, jadi jatahku mencuci piring!"

"Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal-hal berat untuk sementara," balas Kazuma seraya memberi tatapan minta dimengerti.

"Mencuci piring bukan hal berat," protes Hokuto, bibirnya mengerucut cemberut. Namun pada akhirnya ia menurut untuk tetap diam tak bergerak di atas kursi sambil menggenggam mug berisi cokelat hangat setelah Kazuma terus menghalanginya berjalan ke area 'terlarang'. Toh selain pekerjaan itu ringan, ada mesin yang bisa dipakai supaya lebih praktis. Apanya yang pekerjaan berat?

Setelah selesai dengan pekerjaan terakhirnya, Kazuma kembali ke tempat di mana sebelumnya ia duduk. Ditariknya mendekat sebuah mug identik dengan yang tengah dipegang Hokuto, namun alih-alih cokelat panas, miliknya berisi espresso pekat yang telah menjadi hangat setelah dibiarkan berdiam cukup lama.

"Kau yakin baik-baik saja?" Kazuma melempar sebuah pertanyaan yang sejujurnya sedari tadi telah menjadi fokus pikirannya.

Yang ditanya menjawab dengan sebuah anggukkan. "Ya, aku baik-baik saja. Kenapa, memangnya? Aku bukan orang perlu kau khawatirkan." Hokuto meneguk cokelatnya.

"Melihatmu membuatku merasa bersalah soal kejadian kemarin malam." Kazuma memasang wajah serius, namun tidak dengan sang lawan bicara yang justru seperti menghindari tatapan langsung yang ia tujukan.

Ada yang aneh.

Beberapa menit berlalu namun tidak seorangpun dari keduanya menampakkan tanda-tanda ingin bersuara. Seakan keduanya sama-sama ingin memberi jeda untuk berpikir atau merenung. Atmosfer di antara mereka berubah menjadi semi canggung.

Hokuto menarik nafas panjang secara perlahan, menaruh mug keramik yang dipegangnya kembali ke atas permukaan meja. Jika boleh jujur, ia tidak begitu suka pembicaraan yang serius atau terlalu serius. Karena pembicaraan serius acapkali melibatkan perasaan. Sementara ia selalu berusaha keras untuk tidak melibatkan perasaan apapun dalam hubungan personalnya dengan Kazuma.

"Kazuma tidak perlu merasa bersalah. Kita berdua sama-sama mau."

Alasan sepele Hokuto tidak semerta-merta Kazuma terima.

"Tapi jika kemarin aku tidak pulang tengah malam dalam kondisi setengah mabuk lalu berinisiatif lebih dulu-"

"Bukankah itu yang selama ini kulakukan? Bukankah itu salah satu tugasku?" potong Hokuto. Raut wajahnya serempak berubah kompak dengan Kazuma. Begitu penuh gurat keseriusan. "Tugasku adalah melayani Kazuma kapanpun dan di manapun Kazuma menginginkannya. Bukankah itu inti dari isi perjanjian kita? Kau masih ingat, kan?"

Jika situasi yang mulai memanas ini adalah sebuah tanda baca dalam sebuah novel romansa, maka ia akan berbentuk titik koma.

"Aku... sedang berpikir untuk mengakhiri perjanjian itu."

Keheningan pun memanjang selepas Kazuma mengutarakan maksud yang sebenarnya. Hokuto bisa menangkap dalam hitungan detik. Ia sadar pada akhirnya kalimat itu akan keluar juga secara langsung dari bibir Kazuma. Si pemuda Yoshino menggembungkan pipi selama beberapa saat, mencoba menahan dan menata ulang kata-kata yang harus ia ucapkan.

"Kurasa itu ide yang bagus." Jeda. "Jujur... aku sudah menantikan sejak lama kalimat yang barusan kau katakan."

Kazuma mengacak rambutnya sendiri sampai agak berantakan. Ia sedikit kesal mendengar jawaban Hokuto. Tidak, ia bukannya kesal pada Hokuto tetapi frustrasi pada kata-kata yang dikeluarkan bocah itu. Dirinya pun mencoba sebisa mungkin tuk tidak menggunakan nada tinggi untuk membalas.

"Hokuto, jika kau ingin mengakhirinya sejak lama, kau yang harus mengatakannya lebih dulu. Kenapa harus menunggu aku yang mengatakannya?"

"..."

Dengan sabar Kazuma menanti jawaban.

Lantas sebuah tawa kecil yang terdengar getir pun lepas. Hokuto lagi-lagi enggan menatap langsung lawan bicaranya.

"Kazuma tidak mengerti."

"Bagaimana aku bisa mengerti jika kau tidak memberitahuku?"

Kedua jari telunjuk Hokuto saling bertaut. Tawanya menghilang, menyisakan raut wajah yang terbilang sedih dan kesepian.

"Kazuma, kau tidak bodoh." Hokuto memberanikan diri mengangkat wajah. Ia tidak tahu apakah akan menyesal setelah ini semua berakhir namun ia sendiri memiliki banyak hal yang tersimpan rapat dalam hati. Yang pada akhirnya memang harus disampaikan sebelum segalanya terlambat. "Kau tahu bahwa menjadi sex friend untuk orang lain sementara kau sendiri punya kekasih adalah sebuah hal yang tercela."

Kazuma belum merespon maupun mengubah air mukanya. Ia hanya ingin Hokuto terus bicara.

"Tapi kau tahu? Yang bodoh itu aku. Aku tidak bisa menolak Kazuma. Karena itu aku hanya bisa menunggu sampai kau yang harus mengatakannya sendiri." Kesedihan tergambar dalam kedua lensa gelap kecoklatan milik Hokuto yang mulai mengembun.

"Kenapa kau tidak bisa menolakku?" pancing Kazuma dengan suara kecil.

"Karena kau adalah sahabat baikku. Kau telah melakukan banyak hal untukku sejak awal kita tinggal bersama, dan aku merasa berhutang banyak padamu..."

Keadaan ini membuat Kazuma mempertanyakan perbedaan arti dari kebahagiaan dan kesedihan, karena ia tidak bisa mengidentifikasikan keduanya lagi.

"Hanya itu?"

"...ya." Jawaban singkat yang tidak memuaskan.

Kazuma merebahkan punggung pada sandaran kursi. Wajahnya mendongak ke langit-langit. Perasaannya tak lagi bisa dideskripsikan secara gamblang.

"Kau sosok yang terlalu baik, Hokuto. Seharusnya kau bisa mendapatkan apapun yang diinginkan di luar sana, seperti kekasih idaman atau menghabiskan waktu bergaul dengan banyak orang-orang populer, tetapi kenapa kau malah memilih berakhir menjadi sex friend seorang egois bernama Kawamura Kazuma? Yang kulakukan setiap malam hanyalah membuatmu lelah, sakit, dan kurang tidur. Aku sampai ragu, terus mempertanyakan apakah setiap kita berhubungan badan kau juga benar-benar menikmatinya?"

Ekspresi wajah Hokuto yang sedari tadi mendung sedikit terganggu dengan adanya kalimat terakhir yang menggelitik menyusup masuk ke dalam pembicaraan mereka. Ia menyesap kembali cokelatnya yang sudah dingin sebelum membalas.

"Aku menikmatinya."

Kazuma mencondongkan tubuhnya ke depan, menyangga dagunya dengan sebelah tangan, melempar seringai jahil pada pemuda imut berpipi kemerahan di hadapannya yang tengah berusaha keras untuk tidak bertingkah yang bisa dianggap mencurigakan. "Benarkah?"

"..."

Hokuto menggigit bibir bawahnya, seperti ragu-ragu ingin mengeluarkan unek-unek. Tatapan serigala andalan Kazuma mulai mengintimidasinya.

"..."

"Oke, sekali aku tidak menikmatinya. Saat kita melakukannya di toilet kampus yang sempit, kau tidak memakai pengaman dan-" Hokuto merasakan aliran darah hangat berdesir ke permukaan wajahnya. "-aku harus melupakannya."

Kazuma lantas menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. "Sepertinya aku harus minta maaf lagi untuk kejadian waktu itu?"

"Tidak perlu," sergah Hokuto sembari menggelengkan kepala. "Lagipula itu sudah satu tahun yang lalu." Hokuto heran dengan dirinya sendiri karena sebenarnya ia masih mengingat setiap detil hal yang ia lakukan bersama Kazuma. Bukan hanya tentang hal-hal menyangkut 'aktivitas libido' tetapi juga hal sederhana seperti memasak bersama, berbelanja, menonton TV, mencuci baju, dan hal kecil lainnya yang mereka lakukan selama tinggal berdua di apartemen ini.

"Hokuto, apa kau sebenarnya seorang masokis?"

Pertanyaan dadakan yang kurang mengenakkan itu membuat Hokuto sontak melempar sendok pudding bekas ke badan Kazuma. "Enak saja!"

Tawa renyah si pemuda Kawamura menggema mengisi ruangan. Sudut bibir Hokuto ikut merekah tipis tanpa sadar melihat tawa Kazuma. Mungkin tidak hanya tangis, tawa dan kebahagiaan bisa saja menular. Tapi rupanya itu tak berlangsung lama karena ada hal serius lain yang harus Kazuma sampaikan.

"Hokuto, aku menyayangimu. Itulah kenapa kita harus berhenti menjalani hubungan yang tidak sehat ini."

"Aku paham. Tapi bisakah kau tidak usah memberi alasan yang tidak jujur?" Atmosfer kembali berbalik muram.

Dahi Kazuma berkerut bingung. "Siapa bilang aku tidak jujur?"

Hokuto memijit pelipisnya. Ia menunduk, memejamkan mata, menekan kedua matanya pelan-pelan, sebelum kembali membukanya. Ada gurat kesedihan yang sempat pergi tergambar lagi di sana, namun lebih dalam.

"Kazuma, kenapa kau mudah sekali mengucapkan pada orang lain kalimat yang seharusnya kau katakan pada orang yang kau cintai?"

Kazuma tidak mengerti.

"Menyakiti kekasih Kazuma membuatku menjadi seperti orang paling jahat di dunia." Setitik air mata Hokuto jatuh dari kelopak bawah mata kirinya.

Kazuma berusaha untuk tidak terlihat panik. "Hokuto, hei dengarkan dulu. Pertama, aku harus tahu dari mana kau menyimpulkan aku punya kekasih? Apa aku pernah mengatakannya langsung padamu? Apa ada seseorang yang mengaku sebagai kekasihku? Apa kau mendengarnya hanya lewat gosip yang beredar mulut ke mulut?"

"Kau menyembunyikannya dariku, tapi aku tahu," jawab Hokuto lirih, berusaha keras agar bisa menahan lebih banyak air matanya supaya berhenti menetes. Ia hampir tidak pernah menangis sebelumnya terlebih di depan Kazuma, karenanya ia tidak mengerti bagaimana cara menghentikannya.

Kazuma menggigit bibir bawahnya menyaksikan Hokuto menangis. Sejauh yang ia tahu, Hokuto selalu bersikap tegar dan kuat di depannya, apapun yang terjadi meski beberapa kali ia mendapati anak itu menangis diam-diam. Jika orang yang tak pernah menangis menghadapi beban berat sekalipun dan pada akhirnya menyerah, maka tak perlu dipertanyakan seberapa kali lipat sakit yang dirasakan.

"Baiklah, jika benar aku punya kekasih, siapa dia? Selain orang-orang yang kau lihat sering bersamaku di kampus tentunya, karena mereka hanyalah sahabat baikku."

"..."

Hokuto tidak menjawab, bahkan tak melepas satu kata pun. Hanya mengelap wajahnya yang basah sesekali menggunakan lengan baju. Pertahanan Kazuma mulai goyah. Telapak tangan terkepal. Ia ingin memeluk pemuda di hadapannya itu sekencang yang ia bisa.

"Jadi benar? Kau mencurigai para sahabatku? Jika iya, ini jelas hanya salah paham. Kau terlalu insecure sehingga tidak bisa membedakan persepsimu sendiri dengan persepsi orang lain. Kau bukan orang jahat, Hokuto. Aku juga tidak ingin membuatmu menjadi seperti itu."

"Maaf..."

Tahan sedikit lagi, Kazuma.

"Dan yang kedua..." Dihirupnya sedalam mungkin oksigen yang mampu ia sedot, seraya berdoa bahwa apa yang ia ucapkan setelah ini tidak akan menjadi sebuah penyesalan dan justru berubah menjadi awal baru yang lebih baik. "...aku ingin kita berhenti menjadi sekadar teman sex dan memulai hubungan sebagai pasangan kekasih yang normal." Kazuma tersenyum lapang.

"Eh?" Hokuto tertegun sebentar. Ia melirik ke arah kalender April penuh coretan tangan dirinya dan Kazuma yang melekat di pintu kulkas meskipun pandangannya masih kabur oleh air mata yang terus menumpuk.

"Ini sudah tanggal 6, Hokuto. Sudah bukan April Mop lagi," terang Kazuma menenangkan sambil mengeringkan jejak air mata di pipi partnernya menggunakan sapu tangan yang sedari tadi diam di dalam sakunya.

Tak sepatah kata pun berhasil Hokuto keluarkan, hanya air mata yang mampu membuat sapu tangan di genggaman Kazuma basah dan larut sepenuhnya. Pada akhirnya, pertahanan Kazuma pun runtuh. Lengannya terjulur, merengkuh tubuh yang lebih muda darinya itu ke dalam pelukan yang sudah sekian lama ingin ia persembahkan. Tidak ada lagi keraguan dalam benak Kazuma. Ia yakin telah mencintai orang yang tepat saat dirasakannya degup jantung Hokuto berpacu begitu cepat.

"Maaf, maaf sudah membuatmu bingung. Hokuto bukan orang jahat, akulah orang jahatnya."

Hokuto menjatuhkan dahinya pada bahu Kazuma, tubuhnya gemetaran. Hal-hal rumit bagaikan benang kusut yang muncul secara tiba-tiba di dalam kepalanya masih belum menemukan ujung. Kepalan tangan kecil itu meremas bagian belakang kemeja yang Kazuma kenakan lalu berakhir dengan tangisan kencang.

. . .



Ujung jemari Kazuma yang lentik mengusap perlahan kelopak mata memerah Hokuto yang terpejam. Setelah lelah menangis selama hampir satu jam, pemuda bersurai hitam dengan highlight crimson itu memilih kembali beristirahat di dalam kamar.

Kazuma tidak menyangka bahwa pembicaraan seriusnya dengan Hokuto beberapa jam yang lalu membuka matanya lebar-lebar bahwa selama ini ia telah banyak mempermainkan perasaan Hokuto. Seandainya ia lebih peka sedikit sejak awal, mungkin... mungkin Hokuto bisa mendapatkan kebahagiaan yang lebih layak untuknya.

Namun di sisi lain pada akhirnya Kazuma merasa sangat lega karena mampu mengutarakan isi hatinya yang rumit. Hubungan mereka memang diawali atas dasar nafsu, namun tidak lagi mulai detik ini. Memang untuk sekarang Hokuto masih belum merespon apa-apa, tapi Kazuma akan tetap sabar menunggu sekalipun yang ia dapatkan nanti adalah penolakan dan perpisahan. Setidaknya, ia telah melakukan apa yang lelaki sejati harus lakukan. Apapun keputusan Hokuto nantinya, Kazuma akan menerima secara lapang dada asalkan ia bisa memastikan bahwa anak itu tidak akan pernah menderita lagi.

"Padahal aku sudah memberimu petunjuk," bisik lirih sang pemilik deep voice yang sering membuat iri banyak lelaki. Tangan Kazuma beralih mengusap satu spot di mana ia meninggalkan kiss mark yang cukup jelas di leher Hokuto kemarin malam, yang untuk kedua kalinya muncul akibat lapisan foundation yang digunakan untuk menyamarkan sudah terkikis habis. "Memangnya ada sex friend yang dengan sengaja meninggalkan bekas ciuman pada partnernya jika bukan karena ingin memiliki?"


. . .

今夜のデザートは甘酸っぱい話 - END

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?