見出し画像

*insert title here*

Hokuto memperhatikan dengan seksama sudut bibir bawahnya yang sedikit keunguan. Kompres es batu di genggaman mencair separuhnya. Namun rasa ngilu pada sudut bibirnya sudah tidak bersisa.

"Gadis itu membayar dua kali lipat, ia bilang maaf telah merepotkanmu." Lelaki dewasa bernametag Likiya menyerahkan selembar cek di hadapan Hokuto.

Hanya dengusan yang keluar dari hidung pemuda berparas imut-yang tentunya kadar keimutannya telah sedikit berkurang akibat luka yang tersemat di wajahnya.

"Sebaiknya aku mengganti peraturan? Boleh menyerang balik untuk membela diri... begitu?" tambah Likiya.

"Tentu saja," jawab Hokuto cepat. Jika saja pemasukan utamanya tidak bergantung pada pekerjaan ini sudah ia hajar balik pemuda tak dikenal yang menyerangnya tadi sampai tidak berkutik. Ia lelah memainkan peran sebagai 'lelaki idaman yang tidak melakukan kegiatan berdosa'. "Kita adalah agen rental kareshi, bukan agen private idol."

Agen rental kareshi atau secara sederhana diterjemahkan sebagai 'pacar sewaan' yang Hokuto maksud adalah "Yotsuba Clover", agensi rental pacar ternama nomor satu Jepang di mana orang-orang bisa menyewa para pekerja yang disebut 'agen' di sini untuk menjadi 'pacar' atau sekedar teman menghabiskan waktu bersama tanpa memasukkan unsur-unsur hubungan fisik-kecuali berpegangan tangan dan pelukan, atau yang telah disepakati sebelumnya.

Tidak sembarang orang yang bisa direkrut menjadi bagian dari Yotsuba Clover. Pertama, ia harus memiliki tipe wajah yang sekiranya bisa disukai semua orang termasuk wanita, lelaki, tua, muda. Ya, Yotsuba Clover tidak membedakan gender. Jika ada klien lelaki menginginkan agen lelaki, itu diizinkan selama ada kesepatan dengan agen yang dimaksud. Kebanyakan agen Yotsuba Clover memiliki wajah yang bisa dikategorikan 'fleksibel'. Mereka juga harus bersikap manis di hadapan klien, terutama dan yang paling penting: tidak melakukan kekerasan-yang sayangnya peraturan tersebut justru membawa petaka bagi Hokuto.

Mayoritas agen Yotsuba Clover adalah anak-anak kuliah, termasuk Hokuto, yang mencari pemasukan demi membiayai hidup di kota Tokyo yang mahal. Tidak jarang juga Yotsuba Clover mempekerjakan anak SMA, tentu saja melalui wawancara ketat dan selama sekolah mereka mengizinkan karena tidak semua SMA setuju membiarkan muridnya bekerja paruh waktu.

"Sepertinya untuk sementara waktu aku akan mengambil klien lelaki saja," gumam Hokuto.

Zin yang duduk di sudut ruangan, tengah mengatur beberapa jadwal anak buahnya, mengangkat sebelah alis heran. Padahal sudah lama sekali Hokuto tidak bersedia mengambil klien lelaki. "Kau yakin?"

"Paling tidak, aku belum pernah mengalami hal semenyakitkan ini selama menemani klien lelaki."

"Meskipun mereka memperlakukanmu seperti 'princess'?"

Hokuto melemparkan pandangan tajam pada Kanta yang duduk berseberangan dengannya. "Mereka tidak peduli bahkan jika aku bersikap cuek. Mereka takkan menurunkan ratingku."

"Baiklah, baiklah." Sang manajer Yotsuba Clover, mencatat sesuatu di note-nya. "Lagi pula kau belum pernah mendapat komplain atau rating buruk."

"Terima kasih, Likiya-san."

Suara daun pintu diketuk mengalihkan fokus semua yang ada di ruangan. Setelah Likiya mempersilakan, Itsuki, sang nomor 2 di Yotsuba Clover melangkahkan kaki masuk dengan diikuti seorang pemuda pirang berseragam SMA di belakangnya.

"Bukannya kau sedang libur, Itsuki-kun?" sapa Kanta.

"Ya, aku ke sini mengantarkan anak baru."

"Anak baru?"

Tatapan mereka dioper kembali pada satu-satunya yang bisa ditebak sebagai termuda di antara mereka.

"Jadi dari 20 orang yang kau wawancarai, dia yang terpilih?"

Likiya bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati si anak baru. "Silakan perkenalkan dirimu."

"Hajimemashite, Ohira Shosei desu. Panggil saja Shosei. Mulai sekarang mohon bantuannya, Senpai." Bocah bernama Shosei itu terlihat cukup meyakinkan dari segi visual. Hanya nampak sedikit gugup dan malu, mungkin karena belum terbiasa.

Kanta memperhatikan anak berwajah manis yang mengenakan seragam SMA itu dari atas sampai bawah. "Kau kelas berapa?"

"Baru saja masuk kelas 3."

"Bagaimana dengan ujianmu, tidak apa-apa?"

"Sekolah masih mengizinkanku kerja sambilan sampai 3 bulan sebelum ujian."

"Sou ka. Selamat datang di Yotsuba Clover, Shosei." Zin mengulurkan tanganna yang langsung dibalas Shosei beserta sebuah senyuman.

"Terima kasih."

"Kau mungkin sudah mengenalku dan Itsuki. Sekarang akan kuperkenalkan pada agen utama Yotsuba Clover yang ada di sini." Likiya menunjuk satu demi satu bawahannya. "Ini Zin, wakil manajer. Ryu, nomor 7. Kanta, nomor 8. Hokuto, nomor 1. Yang lain sedang bertugas. Kau menjadi nomor 10 di tim."

"Yoroshiku onegaishimasu."

"Tapi kau serius memasukkannya ke tim utama, Likiya-san?" Ryu merasa penasaran. Ia beralih pada si anak baru yang nampaknya masih sedikit gugup. "Apa kau punya pengalaman sebelumnya, Shosei?"

Shosei menggeleng. "Tidak."

Hokuto mengerutkan dahi. Sedari tadi ia hanya diam memperhatikan. Ada sesuatu yang berbeda dari anak muda itu. Ia seperti kedatangan dirinya dari masa lalu. Hokuto membuka mulutnya, spontan. "Apa kau mencari kesibukan agar bisa melupakan seseorang?"

"Eh?"

"Perasaanku saja." Hokuto berbalik. Ia tiba-tiba teringat masa lalunya yang kelam saat menatap kedua mata Shosei.

"Likiya-san bisa melihat bakat yang terpendam. Bukankah itu juga yang ia temukan dalam dirimu?" ujar Itsuki.

Yang ditanya tidak menjawab, memilih kembali berurusan dengan kompres es batu dan bekas lukanya yang sesungguhnya sudah tak lagi bermasalah.

"Yak, istirahat selesai. Kembali ke tugas masing-masing. Takumi akan kembali dalam 30 menit, dia yang bertanggungjawab untuk training. Kau tidak apa menunggu di sini sampai dia datang?" tanya Likiya pada Shosei.

"Tentu saja. Aku akan menunggu."

"Dan Hokuto, kau bebas jika mau pulang sekarang."

"Aku akan pulang sebentar lagi."

Likiya menepuk bahunya. "Kau butuh liburan dan istirahat."

"Aku baik-baik saja. Tapi terima kasih."

Semua kecuali Hokuto dan Shosei meninggalkan ruangan. Keadaan hening dan sedikit canggung. Hokuto menaruh kompres di tangannya kembali di atas meja.

"Maaf yang barusan."

Shosei sedikit tersentak, saking tiba-tibanya.

"Aku hanya menebak karena kau kelihatan sama berantakannya denganku saat pertama kali diterima di tempat ini..."

Shosei sebenarnya tidak begitu mengerti. Tapi ia senang Hokuto mau mengajaknya bicara. Tadinya ia pikir seniornya itu terlalu cuek.

"Apa penampilanku kurang rapi? Maaf, aku tidak sempat ganti baju dulu."

"Tidak. Yang kumaksud berantakan itu... kau seperti anak lelaki yang stres karena baru saja patah hati."

"..."

"..."

"Ya, aku baru saja mengakhiri hubungan dengan pacar-maksudku, mantan pacarku." Shosei tersenyum getir.

Hokuto tertawa kecil. Ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Eeeh? Tebakanku benar? Sungguh aneh!" Ia malah semakin kencang tertawa. "Apa instingmu yang membawamu ke tempat ini? Jangan cemas, kau akan cepat melupakannya."

Shosei tidak tahu harus membalas apa, terlihat dari ekspresi wajahnya yang sedikit rumit.

"Kau tidak mau berpisah dengannya?"

"Kenapa Senpai-"

"Panggil namaku saja."

"Kenapa Hokuto-san seperti bisa membaca apa yang terjadi padaku?"

"Aku sendiri tidak tahu. Hanya saja, tadi sudah kubilang kan? Kau mengingatkanku pada diriku 3 tahun lalu, saat itu aku juga masih SMA. Pacarku memutuskan hubungan denganku karena alasan yang konyol. Aku masih mencintainya saat itu, tapi seiring waktu berganti, aku rasa sudah tidak menyukainya lagi. Sebaliknya, aku semakin membencinya hari demi hari, meski ia bukan orang yang jahat. Lagi pula semenjak lulus SMA aku sudah tidak pernah melihat atau mendengar hal tentangnya. Mantan kekasihku adalah orang yang begitu baik. Hanya saja... yah, kau pasti mengerti jika ada di posisiku."

Shosei terdiam sejenak dan menunduk. "Mungkin nasib kita memang sedikit mirip. Aku adalah anak yang pendiam dan tidak begitu suka menonjolkan diri, orang-orang di sekitarku mengecapku 'lemah' karenanya. Tapi aku berhasil menjadi sosok yang kuat karena ada seseorang yang selalu bersamaku, mendorong serta menyemangatiku untuk lebih baik. Sayangnya, kami kemudian berpisah. Mungkin sejak awal dia memang hanya bersimpati dan kasihan sementara aku menganggapnya..." Shosei terdiam, seolah tidak sanggup menemukan kata yang tepat atau memang tidak mampu lagi melanjutkan.

Hokuto menepuk-nepuk kepala juniornya. "Tidak perlu dilanjutkan. Lupakan masa lalu, kau bisa mencari seseorang yang lebih mengerti dirimu suatu saat nanti. Suatu saat nanti itu bisa hari ini, besok, minggu depan. Nikmatilah pekerjaan barumu, ini bisa jadi pengalih perhatian yang manjur dari masalah cinta monyetmu."

Shosei tertawa kecil. "Masalahnya aku masih satu sekolah dengan mantan pacarku untuk satu tahun ke depan dan itu adalah hal yang berat. Terlebih jika sudah ada orang lain di sampingnya sekarang."

"Oh, itu brengsek."

"Tidak, tidak. Tidak seperti itu maksudnya-"

"Kalau membelanya sampai segitu, artinya kau benar-benar masih menyukainya ya? Tidak baik untukmu, Shosei. Kalau kau butuh pacar sewaan untuk mengalihkan perhatianmu, aku bisa membantu."

Shosei nampak terkejut karena Hokuto begitu tulus saat menawarinya. "Terima... kasih?"

"Kenapa? Kau melihatku seperti uke? Neko? Aku lebih manly dari kelihatannya." Hokuto sedikit tersinggung, padahal tidak ada yang menyinggung sama sekali.

"Ahahahaha." Shosei tertawa lepas.

"Tunggu, pacarmu perempuan atau laki-laki?"

Sebelum Shosei sempat menjawab, terdengar gaduh langkah kaki yang mendekat. Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang pemuda berambut pink dengan paras indah bernafas dalam tempo amburadul.

"Aku kembali."

"Kau tidak dikejar setan kan?"

"Haha, tidak, Hokuto-san. Di luar panas sekali jadi aku buru-buru masuk."

"Pas sekali, Takumi. Aku akan pulang."

"Hokuto-san, bibirmu kenapa?"

"Risiko pekerjaan," jawab Hokuto seadanya. Ia mengambil tasnya dan beranjak. "Bimbing junior barumu dengan benar."

"Salam kenal, aku Ohira Shosei."

"Ah, Likiya-san menyuruhku memberi one day training hari ini. Panggil saja Takumi. Kau sudah siap?"

"Hai."

"Aku pulang dulu."

"Otsukaresama deshita."

"Otsukaresama. Ganbatte. Lain kali kita lanjutkan yang tadi," pesannya pada Shosei yang langsung disambut dengan ekspresi ceria.

"Hai, arigatou gozaimasu."

. . .

"Hokuto?"

Likiya kembali ke ruangan tepat setelah Hokuto meninggalkannya.

"Hokuto-san baru saja pulang."

"Seorang klien ingin menyewanya besok, untuk 12 jam..."

"12 jam?" Mulut Takumi terbuka lebar saking kagetnya, ia menutupnya dengan telapak tangan beberapa detik kemudian. Biasanya rata-rata klien hanya menyewa agen selama 1-2 jam atau paling lama 3 jam mengingat harga agen yang fantastis jika dibandingkan agen lain. "Ia bisa menghasilkan 120 ribu yen dalam sehari. Apa yang menyewanya seorang milyader? Apa tidak apa-apa dengan jam selama itu?"

"Karena itu aku harus bertanya pada Hokuto sekarang, sang klien tidak ingin menunggu lama atau ia akan membatalkannya."

Likiya mencoba melakukan panggilan untuk yang kesekian kalinya. "Ayo diangkat, Hoku-ah, moshi moshi Hokuto? Syukurlah. Dengar, ada klien yang ingin menyewamu besok untuk 12 jam. Mulai dari pukul 9 pagi, kau mau mengambilnya atau tidak?"

"..."

"Sebentar, aku lupa namanya, sepertinya ditulis di sini-"

"..."

"Kau yakin?"

"..."

"Baiklah, selamat istirahat dan persiapkan diri untuk besok. Kuliahmu libur kan?"

"..."

"Onegai ne, Hokuto." Telepon ditutup. Likiya nampak tersenyum lega. "Dia mengambilnya. Kuharap tidak ada masalah yang terjadi padanya. 12 jam, apa yang akan mereka lakukan selama itu?"

"Apa itu nama klien Hokuto-san?" Sudut mata Shosei tak sengaja menangkap deretan kanji yang agak berantakan di balik dokumen pada genggaman tangan Likiya.

"Ah, benar. Ternyata aku menulisnya di sini. Kawamura Kazuma... apa kalian pernah dengar nama ini?"

Shosei menggeleng. Takumi mengerutkan dahi. "Siapa? Nama seorang model? Atau mungkin CEO dari suatu perusahaan? Entahlah. Sepertinya agak familiar, tapi mungkin perasaanku saja."

"Begitu." Sang manajer pun beranjak. "Kalau begitu kalian bisa melanjutkan training kalian. Takumi tidak menyeramkan kan?"

"Takumi-kun sangat baik. Ia menjelaskan banyak hal dengan mudah dimengerti."

"Baguslah, kalian terlihat sudah sangat akrab."

"Terima kasih, Likiya-san."

"Bagaimana kencan dengan klien regularmu?"

"Likiya-san, itu pekerjaan. Tidak benar-benar kencan." Wajah Takumi memerah.

"Hm... aku mulai curiga dengan klien regularmu itu, kurasa dia sungguh-sungguh menyukaimu."

"Iya, yamete kudasai."

"Hahaha, kalau begitu aku kembali ke ruanganku."

Takumi dan Shosei mengangguk.

. . .

"Tadaima."

Hokuto menyalakan sakelar lampu apartemennya yang sepi. Ia bahkan merasa bodoh mengucap tadaima, memangnya siapa yang mau merespon?

Ia mencopot jaketnya, mencuci muka, sebelum merebahkan diri sebentar di atas tempat tidur. Baru pukul 6 sore tapi matanya begitu berat. Ia punya pekerjaan panjang besok, menemani klien selama 12 jam, jujur itu adalah waktu terlama yang pernah ia terima. Sekaya atau sekesepian apa orang yang memilihnya? Ah, sebaiknya tidak usah terlalu dipikirkan. Ia bisa mendapatkan banyak uang besok.

Deru nafas Hokuto melambat dan lebih teratur. Kesadarannya mulai melebur menuju bawah. Kedua matanya terkatup sempurna. Tubuh lelahnya berangsur-angsur lebih rileks.

. . .

"Ohayou gozaimasu."

"Hokuto, kupikir kau bakal datang terlambat."

"Ya, kupikir juga begitu."

"Lima menit lagi kau akan dijemput. Tunggulah di depan kantor."

"Oke, oke."

"Jangan tampilkan muka ngantuk, Hokuto."

"Aku sedang berusaha."

"Kenta, jangan mengganggunya. Ingat, setengah jam lagi kau juga harus stand by."

"Ohayou gozaimasu."

"Ohayou, oh anak baru."

"Doumo, Ohira Shosei desu."

"Nomor 3, Kamiya Kenta."

"Nomor 6, Yamasho."

"Junki, nomor 4."

"Nomor 5 belum datang?"

"Ah, dia izin karena ada ujian pengganti."

"Ano, tadi ada mobil hitam berhenti di depan kantor. Sepertinya menunggu seseorang..."

"Hokuto, klienmu datang."

"Hai, hai. Sampai jumpa semuanya."

"Apa kau lihat seperti apa klien Hokuto-kun?"

Shosei menggeleng.

. . .

Hokuto menghembuskan nafas panjang sebelum menghampiri satu-satunya mobil hitam yang berhenti di depan kantor. Pintu penumpang depan terbuka. Tanpa basa-basi ia langsung masuk ke dalam. Seorang lelaki berkacamata hitam duduk di kursi kemudi. Hokuto tidak begitu jelas mengenal wajahnya. Ia menutup pintu mobil yang langsung terkunci otomatis. Dikenakannya sabuk pengaman dengan benar. Lelaki di sampingnya membuka kacamata dan meletakkannya di atas dashboard.

"Sudah siap, Hokuto?"

Yang dipanggil membatu sesaat. Mendadak bulu romanya berdiri. Bahkan Hokuto belum berani menoleh ke samping untuk memastikan. Ia kenal benar dengan pemilik suara itu...

Mesin mobil menyala pelan, kemudian membawa keduanya menyusuri jalanan Tokyo.

Hokuto masih membatu. Pandangannya kosong. Pikirannya berkecamuk. Kenapa ia tidak memastikan dulu siapa kliennya dan manyetujuinya begitu saja?

"Hokuto? Kau baik-baik saja?"

Ia memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi. Namun saat ia membuka mata justru wajah orang itu berada tepat di hadapannya. Dengan refleks Hokuto mendorong wajah itu menjauh.

"Ugh-"

Hokuto melirik ke luar. Mobil berhenti di tepi jalan rupanya.

"Seharusnya aku lebih waspada lagi saat menerima klien."

"Kau tidak senang aku menjadi klienmu?"

"Huh?" Kali ini Hokuto memberanikan diri menatap marah pemuda yang mengenakan black suit pada kursi kemudi itu. "Kenapa kau harus datang ke kehidupanku lagi?!"

"Hokuto, aku butuh bantuanmu. Anggap saja kita belum pernah mengenal sebelum ini, jika itu membuatmu lebih baik."

Hokuto ingin membanting kepalanya ke kaca mobil. Bagaimana bisa Kazuma, mantan kekasih yang sudah berpisah dengannya selama 3 tahun itu, mantan kekasih yang sangat ia benci dari hari ke hari itu tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupannya dan meminta tolong? Menyuruhnya pura-pura tidak kenal setelah apa yang dulu pernah mereka lakukan bersama serta rasa sakit yang pernah Kazuma torehkan padanya? Bunuh saja ia sekarang.

"Itu tidak membuatku lebih baik."

"Setelah ini selesai aku akan meminta maaf secara gentleman padamu. Aku janji."

"Tidak perlu. Setelah ini selesai kita tak akan bertemu lagi untuk selamanya," gerutu Hokuto sambil membuang pandangannya ke luar jendela. Ia masih belum paham apa yang terjadi.

Kazuma tersenyum tipis. Ia mengusap belakang kepala Hokuto dengan telapak tangannya. "Aku merindukanmu."

Hokuto pura-pura tidak mendengar, namun berakting memang bukanlah keahliannya. Terlebih jika rasa bencinya pada Kazuma hanyalah kamuflase untuk menutupi apa yang sebenarnya masih ia rasakan jauh di dalam lubuk hati.

Mesin kembali menyala dan mereka kembali pada perjalanan menuju kejutan yang akan Hokuto dapatkan.

. . .

"Kita sudah sampai."

"Ngh...? Ini bukan mimpi?!" Hokuto kembali mendorong Kazuma dengan sekuat tenaga. Kepalanya terantuk kaca. "Ouch."

"Ayo cepat keluar. Aku membayarmu bukan untuk malas-malasan. Buktikan kalau kau profesional." Kazuma memberi senyum yang lebih mirip seringaian itu sembari melepas seatbeltnya.

Lidah Hokuto berdecak. Ia harus bersama Kazuma seharian ini. Sungguh cobaan yang sulit. Anak itu melepas seatbelt, membuka pintu mobil dan keluar dengan wajah sedikit cemberut. Ia menatap sekeliling. Ternyata Disneysea.

"Kenapa?" gumam Hokuto pelan. Dari semua tempat hiburan yang ada di Jepang, kenapa harus tempat ini...

"Sedang apa kau di situ, ayo masuk."

"..."

"Kalau kau tidak bekerja dengan profesional, aku akan komplain pada Likiya-san dan aku yakin, besok posisi nomor 1 akan digantikan oleh orang lain."

Hokuto memejamkan mata erat dan menarik nafas panjang. Ini demi pekerjaan, demi pundi-pundi uang. Ia bisa minta libur tiga hari setelah hari ini berakhir serta memastikan Kazuma takkan pernah bertemu dengannya lagi.

"Yossha, baiklah." Hokuto berjalan mendahului Kazuma sambil membalas seringai yang tadi.

"Tunggu, jangan meninggalkanku." Kazuma menangkap telapak tangan Hokuto yang ternyata begitu hangat namun berkeringat.

"Tidak ada pegangan tangan-maksudku, banyak orang di sekitar kita." Wajah Hokuto sedikit memerah akibat malu.

Kazuma mengangkat sebelah alis. "Kalau begitu begini saja." Ia melingkarkan lengannya pada pundak Hokuto, menariknya mendekat.

"Kau tidak perlu menarikku sekencang ini!" Hokuto menoleh untuk melempar tatapan tajam, namun ia tersadar jika jarak antara wajahnya dan wajah Kazuma tidak sampai sejengkal. Hal itu membuatnya membeku.

Bayang-bayang masa tiga tahun yang lalu berkelebat di dalam kepalanya.

"Hokuto? Hokuto? Hei, kalau kau tidak merespon aku akan menciummu." Kazuma mengerutkan dahi. Ekspresi Hokuto nampak aneh. Jangan-jangan...

Kazuma menutup kedua mata Hokuto dengan telapak tangannya. Anak itu kembali ke alam sadarnya, agak panik.

"Kazuma apa yang kau-"

"Jangan pikirkan hal-hal lain kecuali kencan kita hari ini." Kazuma membiarkan kedua mata Hokuto terbuka kembali. Ia tersenyum lembut kala mendapati Hokuto mulai tenang. "Mari kita bersenang-senang."

Kemudian ditariknya telapak tangan pemuda yang lebih muda itu menuju antrian masuk. Hokuto hanya menurut patuh. Sekali lagi dirinya membatin, 'Ini pekerjaan!'

Masalahnya, bagaimana kau bisa fokus pada pekerjaan ketika kau melakukannya di tempat yang penuh kenangan indah sekaligus pahit yang kau lalui bersama mantan kekasihmu... yang sekarang berada tepat di sebelahmu? Hokuto bahkan tidak yakin ada orang yang benar-benar mau melakukan ini secara sadar meski dibayar.

Hokuto sengaja melangkahkan kaki lebih lambat dari Kazuma agar tetap bisa berada beberapa langkah di belakang sementara ia biarkan jemari tangan mereka bertautan. Diam-diam ia memperhatikan wajah Kazuma dari samping. Suara berat pemuda tersebut memang tidak berubah tapi wajahnya sedikit membuat pangling. Dari dulu Hokuto pikir wajah Kazuma itu tampan tapi sekaligus 'cantik', sekarang lebih dari itu. Ia tak pernah dengar kabar tentang Kazuma, mungkin ia bekerja sebagai model atau aktor... siapa tahu? Dengan paras menunjang setampan itu-

'Kenapa aku malah memuji-muji wajah Kazuma?' Hokuto membuang pandangannya ke samping dengan kesal.

"Jangan terpisah dariku," Kazuma memperingati.

Hokuto menyindir, "Kau saja memegang tanganku seperti polisi meringkus kriminal, bagaimana aku bisa lolos?"

Pemuda berambut hitam itu tertawa kecil. "Anggap saja posesif."

Hokuto tidak habis pikir. Kenapa Kazuma bersikap manis padanya? Mereka sudah tidak bertemu selama tiga tahun! Bukan tiga bulan atau tiga minggu. Kenapa Kazuma tidak bersikap canggung sedikitpun? Paling tidak harusnya dia sadar kalau status mereka adalah 'mantan kekasih', kan?

"Ii na, sudah lama aku tidak ke sini."

"Wah sayang sekali, aku sering ke sini bersama klienku."

"Tapi klien yang satu ini berbeda."

"Oke," respon Hokuto pendek. "Kita mau ke mana?"

"Kau mau ke mana?"

"Hee? Aku yang menurutimu."

"Tidak, aku yang akan menurutimu."

Hokuto tergelak kecil, menyerah. Sungguh kekanak-kanakkan jika perdebatan diteruskan. "Aku ingin ke sana." Ia menunjuk suatu wahana yang lumayan ekstrim, Tower of Terror.

"Oh? Kau yakin?"

"Kenapa? Kau pikir aku takut?"

"Terakhir kali kau naik itu kan..." Kazuma keceplosan. Bukankah ia yang berharap untuk tidak mengungkit-ungkit masa lalu? Dasar bodoh. Lihat, Hokuto berwajah masam lagi. Kazuma mengacak-acak poni kemerahan Hokuto sambil tersenyum, "Baiklah. Ayo ke sana."

Hokuto menggerutu sembari membenarkan poninya. Entah akibat terik matahari pagi atau faktor lain, pipinya nampak sedikit lebih menyala. Jantungnya melaju sedikit lebih cepat. Perasaan nostalgia ini membuatnya ragu. Mampukah ia bertahan sampai pukul 9 malam nanti? Apa yang sebenarnya Kazuma rencanakan padanya?

. . .

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?