Red Riding Hood's Bad Day (part 1)

Sato Keigo menyongsong dengan bahagia sosok lelaki bertudung merah yang lebih pendek darinya, berjalan ke arahnya di tengah keremangan senja setelah memastikan bahwa sosok itu adalah adik tingkatnya di universitas, Osaki Shotaro. Bekerja sendirian di tengah hutan belantara seperti ini terkadang membuat pemuda jangkung itu merasa paranoid.

"Syukurlah kau cepat datang, Taro!" Keigo tersenyum lebar sembari menepuk keras punggung Shotaro hingga anak itu terhuyung dan tudung merahnya melorot ke punggung, menampakkan helai-helai surai pirang yang berantakan.

Yang lebih pendek melayangkan tatapan dingin, "Bukankah aku sudah berbaik hati menggantikanmu bekerja malam ini, Keigo-kun?"


"Maaf, maaf, Taro." Keigo terkekeh ringan, satu tangan mengeruk belakang kepala dengan kikuk. "Habisnya malam ini adalah malam istimewa bagiku. Junki bilang ia sedang berada di fase in heat一kau tahu kan maksudnya? Jadi kami berniat melakukan 'itu' malam ini."

Dahi di wajah datar itu mengernyit sekilas melihat ekspresi malu-malu seorang Sato Keigo. Keigo penjaga hutan yang dikenal sangar dan galak namun tampan itu, Keigo yang sudah tidak asing dengan semua hal berbau mesum itu, sekarang bertingkah layaknya gadis yang hendak menyatakan cinta pada gebetannya.

Shotaro menghela nafas dan berjalan masuk ke pondok kayu kecil berukuran 3 x 3 meter persegi yang digunakan penjaga hutan untuk beristirahat. Ia melepas tudung dan sepatu bootsnya, kemudian merebahkan diri di atas ranjang bambu kecil yang hanya muat untuk satu orang berbadan sedang.

"Kau baik-baik saja kan, Taro?" Kepala Keigo menyembul dari jendela yang terbuka. Ini bukan pertama kali bocah yang lebih muda itu menggantikan tugasnya jaga malam di hutan, mungkin sudah ada 3 atau 4 kali. Tapi biasanya Shotaro akan langsung mengambil senter dan berpatroli ke dalam hutan. Bukannya malah berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

Merasa tidak diacuhkan, Keigo mencondongkan badannya lebih masuk lagi melalui jendela. "Kalau kau sakit, lebih baik kau pulang saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu."

Bola mata besar beriris brown sugar melirik tipis. "Aku baik-baik saja, Keigo-kun. Aku hanya sedikit kelelahan. Kalau kau tidak cepat pergi, nanti Junki-kun bisa 'dimakan' alpha lain."

"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" seru Keigo berapi-api. Ia berteriak dari luar. "Kalau begitu aku pergi dulu, Taro. Kupercayakan tugasku padamu!"

Shotaro memejamkan matanya ketika langkah sepatu Keigo semakin berderap menjauh.

"Oh ya, jangan lupa hati-hati... Katanya sedang banyak serigala yang berkeliaran di hutan..." Itu adalah pesan terakhir Keigo yang samar-samar sebelum langkah pemuda bersurai light brown itu benar-benar hilang ditelan malam.

"Serigala?"

Shotaro bangkit untuk mencuci muka di wastafel kecil dekat pintu. Ia menatap pantulan wajahnya di dalam cermin selama beberapa detik sebelum membasuh muka dengan air dingin agar tidak mengantuk berhubung ia akan berada di sini sampai besok pagi. Untungnya tadi siang pemuda 21 tahun itu sudah menyempatkan diri untuk tidur, jadi ketika Keigo secara mendadak dan memelas meminta bantuan padanya, Shotaro tidak mungkin menjawab tidak.

Hutan yang tengah dijaga Shotaro sekarang adalah hutan lindung milik pemerintah dan tidak sembarangan orang dapat memasuki kawasan konservasi alam yang subur ini. Dari pintu masuk hutan sampai ke pusat belantara terdapat 5 pos yang dijaga oleh masing-masing seorang penjaga hutan dengan jarak pos antara 2 sampai 3 kilometer. Shotaro sendiri berjaga di pos 3 yang sudah memasuki bagian hutan yang dalam, namun belum terlalu liar. Mentok-mentoknya, terkadang ada python berukuran kepalan tangan yang menyusup ke kolong tempat tidur, atau burung hantu yang menabrak atap pondok, atau rubah kecil yang memperhatikan Shotaro dari atas ke bawah selama beberapa kali kemudian melenggang santai untuk mencari makan.

Tidak ada yang benar-benar berbahaya di sini. Untuk urusan penebang liar dan pemburu hewan-hewan dilindungi, itu bukan urusan Shotaro karena wilayah penebangan dan perburuan biasanya tidak di sini. Titik rawan perburuan dan penebangan telah dijaga oleh pihak-pihak yang lebih profesional. Meski begitu Shotaro tidak boleh lengah karena pelanggaran hukum bisa terjadi kapan saja.

Sraaak.

Itu suara yang mencurigakan.

Shotaro melongokkan kepalanya keluar jendela. Ia tidak menemukan apapun yang mencurigkan. Dedaunan bergoyang pelan dan angin tidak berhembus kencang. Berarti yang tadi itu bukan suara gesekan daun yang dihasilkan oleh angin. Anak itu bergeming beberapa saat, menanti kalau-kalau ada suara mencurigakan lagi.

Trak.

Ranting patah, dan bunyinya cukup keras. Rubah atau landak tidak akan membuat suara sekeras tadi, kemungkinan sesuatu yang lebih besar dan kuat.

"Serigala?" tanya Shotaro pada dirinya sendiri, kurang yakin. Ia belum pernah menemukan serigala di hutan, pun belum pernah mendengar dari teman-teman sesama penjaga hutan yang lain tentang keberadaan binatang buas itu di kawasan ini. Tetapi ia harus memastikan.

Kain merah yang teronggok di atas kasur kembali disematkannya ke leher hingga jatuh menutupi nyaris seluruh tubuh tegap yang hanya dilingkupi kaus hitam dan celana pendek putih selutut. Aslinya potongan kain berwarna merah marun polos itu adalah selimut, namun ibu Shotaro menjahitnya menjadi jubah bertudung agar lebih mudah dipakai sang anak ketika malam hari supaya tidak kedinginan, berhubung Shotaro tidak suka memakai jaket atau mantel yang cenderung menambah gerah di malam musim panas.

Setelah memasang kembali sepatu bootsnya, Shotaro mengambil senter dan menutup pintu pondok rapat-rapat agar tidak ada binatang liar yang bertamu seenaknya. Setengah wajahnya yang kecil nyaris tak terlihat akibat tudung lebar yang menyelimuti kepala. Ia melangkah dengan hati-hati memasuki rimbunan pohon yang terlihat sedikit mencekam, ditambah iringan orkestra dari serangga malam, kukuk burung hantu yang meremangkan bulu roma, dan suara-suara yang tidak jelas asalnya, sudah dipastikan tidak akan ada yang berani menjelajah hutan ini sendirian. Tidak seorang pun, kecuali Osaki Shotaro. Bahkan Keigo pun sebagian besar waktu berjaganya hanya dilakukan di dalam pondok.

Trak.

Gusrak.

Bunyi ranting-ranting patah lagi. Semakin keras dan tidak beraturan. Shotaro memiliki pendengaran yang tajam. Ia bisa mengira-ngira jarak antara dirinya dengan subjek pembuat keributan hanya dengan satu kali dengar. Sorot matanya mengunci tajam rimbunan semak yang berada sekitar 15 meter di depannya, bergetar misterius. Seekor ular hitam kecil seukuran ibu jari berlari terbirit dari sana. Shotaro melangkah panjang, namun tetap berusaha meminimalisir suara.

"Aah..."

Langkahnya terhenti di pertengahan. Barusan itu seperti suara manusia normal. Dan terdengar... mencurigakan. Shotaro mempercepat langkah, cahaya senternya menyorot stagnan pada fokus yang diyakini tempat subjek pembuat keributan berasal.

"Ngh, ah..."

Ketika jarak antara dirinya dan semak mencurigakan itu tinggal dua meter, Shotaro kembali mengerem lajunya secara mendadak. Hidungnya mengendus udara, ada bau-bauan familiar yang membuat wajahnya tiba-tiba memanas. Ini bau seorang omega yang sedang berada dalam fase in heat. Ia tidak tahu jika fase in heat omega bisa berlangsung secara serempak. Shotaro mengendus udara sekali lagi, dan mendapatkan bau-bauan lain yang samar. Berarti omega itu tidak sendirian, ada seseorang yang menemaninya. Mungkin... alpha?

Dan jika seorang omega in heat berduaan bersama seorang alpha, maka dapat ditarik kesimpulan mereka sedang...

...mating?

Itu artinya mereka akan melakukan perkawinan. Perbuatan mesum. Di dalam hutan lindung milik pemerintah? Jangan bercanda dengan Osaki Shotaro.

Pemuda itu beranjak mendekat. Ia sudah bisa menangkap lelaki pemilik sejumput rambut berwarna hitam yang bersembunyi di balik semak, menindih seorang lelaki lain yang tidak jelas wajahnya.

"Aah... tandai aku cepat... Sungchannn... jadikan aku milikmu seutuhnya."

"Dengan senang ha-"

Shotaro menyorotkan cahaya senter tepat ke wajah dua sejoli yang tengah dimabuk nafsu itu di saat yang tidak tepat, membuat mereka berjengit seperti cacing kepanasan.

"Permisi, dilarang melakukan hal mesum di dalam hutan ini," ucap Shotaro tenang. Ia bisa melihat pasangan yang bajunya masih utuh itu buru-buru berdiri. Satu di antara mereka, yang bertubuh paling tinggi, memiliki rambut hitam pekat dan manik sebundar mata rusa, memelototinya tajam. Dari baunya, meski tipis, Shotaro bisa merasakan bahwa dia ini seorang alpha, sementara lelaki lain yang bau feromonnya begitu kuat itu adalah seorang omega. Nampaknya ia kesal karena acara mating yang terganggu. Jangan salahkan Shotaro, ia hanya menjalankan tugas.

"Berani sekali kau mengganggu." Pemuda berambut hitam yang dari penampilan kelihatan tak berbeda jauh usianya darinya itu menyilangkan tangan di depan dada dan bergerak mendekati Shotaro yang sama sekali tidak terlihat gentar. Ia sudah beberapa kali memergoki pasangan mesum di hutan dan mengusir mereka. Jadi yang ini pun, tidak akan ada masalah besar.

"Hanya menjalankan tugas," balas Shotaro. "Aku penjaga hutan di sini."

"Sungchan, ayo kita pergi." Pemuda yang bersama si rambut hitam itu menarik tangan pasangannya, mengajak pergi. Tapi lelaki yang dipanggil 'Sungchan' tidak menurut begitu saja. Mungkin ia sama kesalnya dengan sang omega karena ritual suci seumur hidup mereka harus terinterupsi.

Sret.

Tudung merah Shotaro secara sengaja disibak sampai jatuh ke punggung. Dua pasang lensa yang tajam saling beradu. Namun sepertinya salah satu di antara mereka mulai merasakan ada sesuatu yang salah.

. . .

Sungchan nyaris kehilangan jati dirinya selama sekian detik kala sepasang iris cokelat yang bulat itu membalas tatapannya. Tatapan ingin membunuh dengan brutal pun terganti dengan tatapan lapar ingin menelanjangi. Makhluk berkulit seputih porselen dan berwajah tenang pemberani ini entah bagaimana mampu merangsang libido yang tadinya setengah-setengah saja menjadi seperti alpha in heat. Tidak seorang omega pun yang bisa membuatnya seperti ini, tidak bahkan oleh kekasihnya sendiri.

"Jika kalian berkenan, tolong tinggalkan tempat ini."

Sudut bibir Sungchan tertarik ke atas. Ia suka tipe yang keras kepala dan pemberontak.

"Kau tidak tahu siapa aku? Namaku Jung Sungchan, putra tunggal seorang pejabat tinggi Korea Selatan." Ucapan itu muncul begitu saja dari bibir Sungchan. Sengaja. Ia ingin melihat seperti apa reaksi lelaki di depannya. Jika orang awam, pasti mereka akan takut dan tunduk. Kita lihat saja yang satu ini.

"Lalu? Semua pelanggar hukum sama di mataku," jawab Shotaro tanpa gemetar sedikit pun. Sungchan mendecakkan lidah, kagum. Benar-benar mengesankan. Kenapa ia tidak bertemu jauh-jauh hari dengan anak manis ini?

Sungchan tersenyum kecil, kemudian menatap kekasihnya yang sedari tadi didiamkan. Anak laki-laki manis itu terlihat cemberut.

"Kau pulang duluan, aku akan menyelesaikan masalah dengan penjaga hutan sialan ini."

"Tapi Sung-"

"Setelah ini selesai, aku akan segera ke tempatmu."

Omega berparas manis itu menatap Sungchan dengan pandangan was-was. Membiarkan alphanya-yang meski belum resmi-berdua saja bersama omega lain bisa sangat berbahaya. Apalagi ia merasakan bahwa feromon Sungchan tiba-tiba jadi lebih kuat, jauh lebih kuat dari yang pernah ia rasakan.

"Pergilah."

Sang omega melangkah menjauhi mereka dengan ekspresi tidak suka. Ia kecewa, hanya demgan gangguan kecil semacam itu Sungchan melupakan hal penting bagi mereka berdua.

. . .

"Kenapa kau masih di sini? Aku tidak melarangmu untuk pergi." Shotaro mengerutkan dahi ketika mengetahui hanya satu di antara kedua orang itu yang pergi.

Sungchan duduk di atas tanah sambil tertawa kecil. Ia menyisir surai gelapnya yang agak berkeringat ke belakang. "Tidak apa. Dia bukan mate-ku. Aku belum punya."

Shotaro memiringkan kepala dan melipat kembali tangannya di depan dada. "Lain kali tolong jangan berkeliaran di hutan malam-malam seperti ini, apalagi tanpa izin. Meskipun kau adalah anak seorang pejabat tinggi."

Pemuda jangkung itu bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk celana cokelatnya yang diselimuti tanah. Ia mengulurkan telapak tangannya, mengharapkan sebuah sambutan.

"Siapa namamu?"

Shotaro menyambut uluran tangan itu. Permukaan kulit yang hangat... bukan. Tangan Sungchan terasa panas, panas yang tidak wajar.

"Osaki Shotaro."

"Shotaro." Sungchan menyeringai. Ia menarik telapak tangan Shotaro yang sedang digenggam menuju bibir merahnya berada. Dikecupnya punggung tangan pucat itu lama, meski sang empunya tangan berusaha melepaskan.

"Tolong lepaskan." Dengan sedikit kesusahan, Shotaro menarik tangannya kencang, namun Sungchan balas menarik dengan lebih kuat, membuat Shotaro limbung dan roboh telentang ke permukaan tanah dengan bunyi berdebam.

Pandangan pemuda itu berkunang-kunang. Ia berusaha bangkit sebelum kedua lengannya mendadak tertahan di samping kanan dan kiri, ulah dari kedua tangan milik Sungchan yang sudah berada di atas tubuhnya, menyeringai lebar.

Seperti seekor serigala.

"Apa yang kau lakukan?" Shotaro menggeram, mencoba melepaskan perangkap di kedua tangannya, namun cengkeraman semakin menekan kuat untuk dilawan saat ia semakin memberontak.

Sang alpha tertawa kecil. Peluh yang timbul pada wajah tampan itu mengalir jatuh membasahi bibir Shotaro yang sedikit terbuka. Sensual, dan Sungchan nyaris hilang kendali.

"Kau omega yang tangguh. Aku menyukaimu," bisik Sungchan di telinga lawannya. Shotaro memejamkan mata. Ia benci sensasi saat sekujur tubuhnya bergetar hanya karena vibra dari tone alpha tak dikenal yang tengah menyerangnya.

Sebelah kaki Sungchan melebarkan kaki Shotaro yang merapat, menghasilkan celah yang cukup nyaman untuk dapat digunakannya menyerang.

"Jung Sungchan, tolong hentikan." Shotaro berusaha membuat suaranya sestabil mungkin. Ia tidak ingin membuat Sungchan merasa bangga dan kesenangan dengan menyerah dalam hitungan menit saja.

"Kau tahu, Shotaro? Aku bisa mencium feromon yang sedang kau tutupi mati-matian."

Pemuda beriris coklat yang berkilat kemerahan tanda siap melakukan proses mating itu mengangkat wajahnya, melebarkan senyuman ketika ditemukannya sedikit gurat kecemasan di sepasang lensa jernih di hadapannya.

"Aku tahu kau sedang dalam 'siklus', tapi kau berusaha keras menutupinya dari para alpha. Agar mereka tidak menyerangmu, benar kan? Tapi sayang sekali... selalu ada satu yang bisa membauinya. Aku. Kau tahu kenapa?"

Warna merah yang tipis menjalari sekujur wajah pucat sang omega ketika alpha di atasnya tiba-tiba mendaratkan satu ciuman pada belahan bibirnya yang sedikit menganga.

"Mmhh." Kelopak mata Shotaro menutup. Ia merasa takut dengan suara yang dikeluarkan. Telapak tangannya mengepal, namun genggaman tangan Sungchan semakin kencang hingga seperti menahan laju aliran darah di pergelangan tangannya. Kakinya ikut terjebak oleh kaki Sungchan yang lebih tangguh untuk menahan semua pergerakan.

Jantung Sungchan berdebar keras hingga ia merasa kaget sendiri. Perasaan yang seperti ini baru pertama kali ia alami. Otaknya berkabut. Tubuhnya bergerak sendiri mengikuti ritme. Lidahnya menyetubuhi rongga mulut si biru yang sedikit tersengal akibat kehabisan nafas. Saliva keduanya yang menyatu, meluber perlahan dari celah di antara kaitan bibirnya dengan bibir Shotaro. Terus mengalir menjalari pipi pucat yang telah merona merah menyala.

"Nnh... uhuk!"

Sungchan segera melepaskan tautan oral mereka ketika Shotaro tersedak karena tak mampu mencuri oksigen. Tubuh pemuda itu bergetar, matanya nyalang menantang, tidak suka diperlakukan sedemikian rupa. Sungchan menyingkirkan helai-helai pirang yang melekat oleh keringat di dahi sang submissive, kemudian menjilat bekas saliva yang masih tercetak di sudut bibir Shotaro.

"Sepertinya kita berjodoh."

Shotaro sama sekali tidak berpikir untuk menjawab tuturan Sungchan. Ia terlalu bernapsu menampung oksigen sebanyak-banyaknya hingga tidak menyadari bahwa ikatan jubah merah di lehernya telah terlepas oleh gigi Sungchan, membuat leher putihnya tertangkap jelas di mata sang predator.

"Kau tidak keberatan menjadi mate-ku kan, Shotaro?"

"Tunggu...!" Shotaro membelalakan mata. Tubuhnya menegang ketika lidah Sungchan menjilat satu titik sensitif di lehernya dengan sensual, menghisapnya hingga meruam, dan ancang-ancang menancapkan giginya di sana. Shotaro panik. Ia merasakan feromon Sungchan menguat di sekelilingnya, siap menyatu dengan miliknya. Tidak, Shotaro tidak siap. Ia belum ingin memiliki dan dimiliki oleh siapapun. Memang ia sudah berusia 21 tahun tetapi ia belum siap sama sekali untuk mating, apalagi sekarang adalah puncak in heat-nya. Jika mating sekarang, kemungkinan besar ia akan hamil dan itu akan menjadi permasalahan besar bagi setiap omega.

Telapak tangan Shotaro terkulai lemas, membuat Sungchan melepaskan jeratannya karena menduga Shotaro telah menyerah. Untuk saat ini ia hanya fokus akan satu hal.

Namun sebelum sempat berbuat lebih lanjut, tangan Shotaro yang tadinya lemah mengeruk segenggam tanah dan melemparkannya ke wajah Sungchan.

"Ugh!"

Momen ketika Sungchan menggaruk kedua matanya yang perih digunakan Shotaro untuk mendorong tubuh yang lebih besar darinya itu sampai lepas. Secepat kilat tangan itu meraih tudung merah yang terabaikan, memakainya, dan berlari jauh ke dalam hutan.

Ia harus bisa kabur dari situasi genting ini.

. . .

Hari terburuk dalam hidup Osaki Shotaro diawali ketika ia merasa kasihan pada kakak tingkatnya di universitas sekaligus tetangganya sejak kecil, Sato Keigo, yang memampang raut wajah memelas di depan rumahnya dan berkata jika ia harus melakukan mating secepatnya dengan Kono Junki, kekasihnya.

Tanpa pikir panjang, Shotaro hanya memberi respon anggukan sebagai tanda persetujuan. Anak itu sudah dapat mencium semerbak feromon Keigo yang nyaris membuatnya sesak nafas, dan ia sudah ingin melenyapkan jauh-jauh raut memelas yang sama sekali tak cocok berada di wajah manly itu.

"Kutunggu nanti di pos jam setengah 7 tepat, seperti biasa. Jangan terlambat!"

Shotaro mendengus sambil menutup pintu rumah secara brutal. Barusan Keigo mengganggu tidur siangnya yang amat berharga dan ia harus segera melanjutkan kembali. Ditambah, perlu menimbun tenaga ekstra untuk berjaga di hutan nanti malam.

Agaknya pemuda berwajah manis itu harus berterima kasih pada dirinya sendiri yang memutuskan istirahat siang lebih lama dari biasanya, karena pada malam hari nanti ia akan benar-benar mengurai tenaga yang jauh lebih banyak dari yang pernah ia pikirkan, disebabkan ulah serigala sebentuk manusia bernama Jung Sungchan.

. . .

"Kei-kun!?"

Gedoran sekuat tenaga pada permukaan pintu kayu jati membuahkan getar yang merambat hebat hingga membuat hewan-hewan malam yang beristirahat di atap pondok mulai berteriak melengking dan meninggalkan tempat kejadian perkara.

"Kei-kun? Apa kau ada di dalam?!"

Ritme gedoran-gedoran gugup tersebut semakin cepat. Jika bukan karena kokohnya fondasi sederhana pondok kayu berukuran 3 x 3 meter persegi itu, mungkin saja untuk saat ini temboknya sudah runtuh akibat dorongan menggebu kepalan tangan Shotaro yang mulai memerah.

Merasa tidak punya lagi waktu dan kesabaran, Shotaro memutar kenop pintu dan segera masuk ke dalam pondok, menutup kembali pintu dengan rapat tanpa menguncinya. Pemuda bertudung merah itu duduk di tepi ranjang yang berkasur keras dan dingin sambil mengatur nafasnya yang masih amburadul. Sekujur badannya menegang akibat kontraksi otot selepas berlari.

Tubuh sang pemuda Osaki yang lelah jatuh menindih kasur. Mata gelap menjajakan pandangannya mengitari ruangan yang kosong tanpa penghuni. Setelah mengerahkan kemampuan untuk lepas dari jerat alpha bernama Sungchan yang sedang rut itu, Shotaro terus berlari ke dalam hutan tanpa menoleh ke belakang. Tujuannya memang menuju tempat ini, pos 4, tempat Koga Yudai atau yang lebih terkenal dengan panggilan 'Kei' berada. Kei juga merupakan senior Shotaro di universitasnya, sekaligus masih ada hubungan keluarga jauh dengannya, dan ia juga part-timer sebagai penjaga hutan sama seperti Keigo. Biasanya Kei selalu ada di pondok, mengerjakan tugas kuliah-saking rajinnya-atau memotret night life yang langka di sekitar pondok. Tapi kali ini nihil. Bau maskulin khas alpha milik Kei tidak tertinggal barang sedikit pun di dalam ruangan.

Shotaro beringsut membenarkan posisi rebahnya yang kurang nyaman. Ia menaikkan tubuhnya agak ke atas agar kepalanya dapat beristirahat di atas bantal-

Prak.

-yang tak diduganya ternyata lebih keras dari kayu. Merasa ada yang kurang enak dan janggal di bawah bantal, Shotaro meraba dan menemukan potongan benda bening nan tajam.

"Kaca?" gumamnya sambil membuka keseluruhan bantal. Ternyata Kei menaruh sebuah figura berisi foto ukuran 3R di sana, sehingga frame yang melapisi tak sengaja pecah ketika Shotaro menindihnya.

Anak itu memperhatikan objek sepasang pemuda yang ada di dalam serpihan frame. Dua orang memakai gakuran-seragam lelaki SMA khas Jepang-yang sedang bergandengan tangan itu tak lagi asing di mata Shotaro. Pemuda tinggi bersurai cokelat kehitaman yang berdiri kalem sambil tersenyum tipis adalah Kei. Sementara pemuda yang agak pendek di sampingnya, dengan rambut silver acak-acakan yang menyeringai lebar adalah teman seangkatan Kei dulu. Shotaro mendadak lupa siapa namanya tetapi mereka berdua adalah pasangan kekasih sekarang.

Kemudian Shotaro terhenyak. Benar juga, alasan mengapa Kei tidak ada di markasnya ini mungkin dikarenakan musim kawin-heat dan rut-serempak yang tengah melanda mayoritas alpha dan omega, tentu saja termasuk Kei pasti sedang menghabiskan malam dengan sang kekasih.

Sebersit helaan nafas menyebar melalui lubang hidung Shotaro yang mulai berespirasi normal. Fokus mata itu terkunci pada langit-langit, berpikir tentang mating.

Shotaro adalah omega normal. Ia mengalami masa in heat setahun sekali semenjak empat tahun lalu, masa di mana ia dinyatakan resmi mampu bereproduksi. Pada saat itu juga setiap alpha dan omega dapat melakukan mating dengan pasangan yang mereka inginkan masing-masing. Secara umum, alpha dan omega memiliki insting akan siapa yang akan menjadi mate mereka. Insting ini dapat tersirat dalam perasaan, maupun dalam nafsu. Diantaranya, opsi kedua lebih menjadi pemandu utama.

Akan tetapi berbeda dengan omega lain, Shotaro mungkin satu-satunya yang tidak ingin melakukan mating. Ia benci dengan takdir yang membuatnya menjadi omega rendahan. Ah, tidak. Tidak hanya omega. Namun juga alpha, beta, semuanya itu rendahan. Bagaimana bisa dua insan manusia terikat menjadi satu hanya karena nafsu semata? Sama saja seperti hewan, bukan? Shotaro benar-benar tidak habis pikir. Manusia itu memiliki hati dan perasaan, untuk apa jika tidak digunakan?

Untuk sekarang, lelaki muda itu hanya ingin sendiri sampai fase in heat ini selesai. Sedikit menyiksa, tapi itu lebih baik. Daripada harus melepasnya bersama dengan orang asing yang tak dikenal? Shotaro tak peduli sekalipun Sungchan adalah benar mate-nya.

Namun jika benar-benar terdesak sebenarnya tidak masalah untuk melakukan mating. Asal tidak hari ini. Sekali lagi, tidak hari ini. Tidak di puncak masa in heat, atau ia akan hamil. Meski masa in heat omega seringkali berbarengan, namun puncak in heat mereka berbeda-beda. Shotaro banyak belajar dari omega lain seperti contohnya Yangyang, bahwa ketika melakukan mating, sebaiknya tidak pada puncak masa in heat karena sangat berbahaya. Di kota mereka akhir-akhir ini banyak omega muda hamil yang tidak kuat mendapat tekanan dari lingkungan hingga frustrasi dan mereka mulai jadi gila sampai banyak yang nekat melakukan bunuh diri. Mereka dianggap sebagai omega jalang yang tidak dapat menjaga kehormatan. Entah dari mana awalnya anggapan itu berasal.

Oleh karena itu, Shotaro akan mati-matian berusaha lolos dari kejaran Sungchan. Ia pun tahu bahwa alpha yang sedang dalam masa rut itu lebih berbahaya dari hewan buas manapun. Tetapi tidak ada salahnya mencoba mempertahankan diri.

Di tengah pemikiran itu mendadak Shotaro berguling sampai tengkurap dan membenamkan wajah merahnya ke dalam bantal ketika merasakan sebuah sengatan di bagian bawah tubuhnya.

"Ugh..."

Kedua telapak tangan dengan gemetar menelusur garis celana pendeknya menuju titik pusat organ vitalnya yang seperti tersetrum.

Shotaro mendesis tertahan. Segelintir keringat dingin menetes dari dahi menuju hidung, dan menetes dari ujung ke permukaan bantal. Pemuda Jepang itu menggigit bibir ketika mengendus aroma feromon maskulin pekat yang mendekat tersapu angin.

'Jung Sungchan?!'

Aroma alpha kasta tinggi itu sudah dihafalnya meski mereka baru bersentuhan sekali beberapa saat yang lalu. Sentuhan tersebut berdampak besar bagi Shotaro. Gejolak nafsunya semakin kuat dan seperti ingin memberontak kala ia mencium bau Sungchan. Ini yang pertama kali. Masa-masa heat sebelumnya selalu Shotaro lalui seorang diri, meskipun banyak alpha yang mengajak untuk mating, tapi Shotaro tak pernah bergairah. Untuk yang satu ini... entahlah. Shotaro tidak tahu kenapa bisa tubuhnya bereaksi dengan sangat sensitif pada friksi terkecil yang dijalarkan sang pemuda Jung.

Mungkin Sungchan memang alpha yang ditakdirkan untuk menjadi mate-nya. Mungkin. Dan kemungkinan itu semakin membuat Shotaro takut.

Shotaro-dengan tertatih menahan tekanan di vital bawahnya-berjalan menuju sisi tembok di mana jendela yang terbuka berada dan menutupnya dengan rapat. Lampu neon yang menyala sepanjang malam lebih dibuatnya agar lebih terang. Shotaro mengencangkan ikat jubah merah di lehernya dengan simpul ganda dan menutup kepalanya dengan tudung yang sempat terlepas, kemudian beranjak menuju pintu, menutupnya rapat dari luar. Sepatu boots hitam yang sedari tadi dikenakannya pun dilepas, diletakkannya rapi berjajar pada samping pintu masuk. Setelah memastikan semuanya sesuai seperti apa yang diinginkan, Shotaro berjingkat ke belakang pondok dan berjongkok mencoba bergeming. Namun tegangan di antara kakinya semakin menjadi saat feromon Sungchan semakin tercium jelas. Shotaro menahan nafas sekuat yang ia bisa dan memilih untuk mengintip melalui semak belakang pondok yang sedikit dapat menyembunyikan keberadaannya. Seandainya sepasang kaki miliknya masih kuat diajak kompromi, Shotaro akan memilih meneruskan pelariannya sampai di pos 5, akan tetapi saat perutnya kram dan ditambah tekanan tidak mengenakkan di selangkangan, ia mencoba untuk diam dan membiarkan.

Shotaro benar-benar tidak bisa bergerak ketika sosok Sungchan muncul di kejauhan di depan sana. Tak ada kotoran sedikit pun yang tertinggal di wajah rupawannya yang selalu tenang. Anak itu melangkah dengan santai, terkadang memperhatikan sekelilingnya sambil tersenyum kecil. Shotaro menutup mata dan menggigit bibirnya lebih kuat. Bahkan hanya dengan melihat sekilas ke arah sang alpha, tubuhnya semakin terangsang. Shotaro tidak suka. Ia tidak suka jika nafsu mulai mengambil alih kerja syarafnya. Ia sungguh-sungguh ingin pergi ke mana saja, sejauh mungkin dari Sungchan... kalau saja bisa. Tapi nyatanya, ia rasa semua sudah terlambat.

この記事が気に入ったらサポートをしてみませんか?